KOMPAS.com - Saat ini Indonesia telah memiliki 24 obat fitofarmaka. Walau begitu pemanfaatan obat ini di layanan kesehatan belum optimal. Karena itu para dokter didorong untuk menggunakan obat fitofarmaka dalam mengobati paseinnya.
Meski sama-sama berasal dari tanaman obat berkhasiat, tetapi fitofarmaka memiliki perbedaan dengan jamu atau obat herbal.
Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disebutkan, fitofarmaka adalah obat bahan alam yang keamanan dan khasiatnya dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinik dan uji klinik. Bahan bakunya juga telah distandarisasi.
Guru besar Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM, Prof. Laksono Trisnantoro menjelaskan, fitofarmaka bukanlah obat tradisional. Dalam UU Kesehatan tahun 2023 pemerintah juga sudah mengatur penggunaannya di layanan kesehatan.
"Ini dapat memperbesar peluang penggunaan fitofarmaka dalam pelayanan kesehatan. Tapi perlu tersedia obat yang bagus dan juga dokter yang akan meresepkan. Tanpa ada dokter yang percaya pada fitofarmaka, peluang ini tidak akan besar," kata Prof.Laksono dalam acara webinar yang diakan oleh Kementrian Kesehatan (5/10/2023).
Baca juga: Fitofarmaka, Bagian dari Riwayat Kemandirian Obat Indonesia
Ia menambahkan, sampai saat ini belum ada obat fitofarmaka yang masuk dalam obat yang diresepkan dalam BPJS Kesehatan.
Padahal, menurut Prof.Laksono ada banyak keuntungan jika obat fitofarmaka menjadi obat resep.
"Potensi kalau pakai resep akan mempunya ciri obat modern, yaitu diberikan setelah proses diagnostik, menjadi bagian dari pengobatan modern, serta bisa bersaing dengan obat ethical non-herbal yang mempunya khasiat yang sama," papar staf khusus menteri kesehatan untuk ketahanan industri obat dan alat kesehatan ini.
Untuk meningkatkan pemanfaatan obat fitofarmaka ada sejumlah tantangan yang masih harus dihadapi. Antara lain bagaimana peningkatkan kualitas dan efikasi obat hingga mendorong dokter untuk menggunakannya.
Prof.Laksono mengatakan, sebenarnya cukup banyak masyarakat yang mau mengeluarkan uang lebih untuk membeli obat-obatan herbal karena percaya pada khasiatnya. Peluang ini bisa dimanfaatkan.
Baca juga: Sering Dianggap Lebih Aman, Obat Herbal Juga Punya Efek Samping
Belanja obat herbal
Kepala Tim Kerja Seleksi Fitofarmaka dan Pembinaan Industri dan Usaha Obat Tradisional Kementrian Kesehatan, Ninik Hariyati, mengatakan Kemenkes juga telah memasukan fitofarmaka dan obat herbal terstandar (OHT) dalam e-katalog sektoral kesehatan.
"Total belanja fitofarmaka dan OHT oleh dinas kesehatan dan rumah sakit mencapai Rp 11.9 miliar,"ujarnya.
Ia menambahkan, pengadaan obat diutamakan secara e-purchasing dengan e-katalog.
Kementerian Kesehatan membagi lima kelas terapi fitofarmaka. Pertama, untuk sistem kardiovaskular kombinasi ekstrak herbal seledri dan ekstrak daun kumis kucing, sistem pencernaan fraksi dari ekstrak kulit kayu manis, sistem metabolik, sistem imun ekstrak herbal meniran, dan nutrisi.
Prof.Laksono juga mencontohkan penggunaan fitofarmaka untuk pasien kanker bersama dengan pengobatan konvensional, atau pada pasien diabetes untuk menurunkan kadar gula darah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.