Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah Stunting Bisa Diperbaiki? Berikut Penjelasan Ahli...

Kompas.com - 25/01/2024, 16:30 WIB
Elizabeth Ayudya Ratna Rininta

Penulis

KOMPAS.com - Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak. Lantas, apakah stunting bisa diperbaiki?

Dilansir dari P2PTM Kemkes, penyebab stunting yaitu kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu cukup lama sehingga mengakibatkan tinggi badan anak lebih rendah atau pendek dari standar usianya.

Baca juga: Cek Kesehatan Pranikah untuk Cegah Anak Stunting

Stunting tidak hanya menyebabkan anak gagal tumbuh, namun juga bisa memicu gangguan metabolik pada saat dewasa dan meningkatkan risiko diabetes, stroke, obesitas, sakit jantung, dan penyakit tidak menular lainnya.

Kendati demikian, kondisi stunting masih bisa diperbaiki dengan memenuhi kebutuhan MPASI di 1000 hari pertama kehidupan. Untuk lebih jelasnya, simak paparan berikut.

Apakah stunting bisa diperbaiki?

Pakar nutrisi bayi dan anak RS Cipto Mangunkusumo Nita Azka Nadhira S.Gz, mengatakan kondisi anak yang sudah masuk kategori stunting masih bisa diperbaiki.

Perbaikan kondisi stunting bisa dilakukan asalkan memenuhi nutrisi pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) atau sampai anak usia dua tahun dan rajin monitor asupan gizi anak.

"Jadi kalau sudah ada rambu-rambu berat badan naiknya tidak sesuai, pertambahan panjang badannya tidak optimal itu sudah langsung bisa kontrol ke dokter spesialis anak atau bisa diperbaiki sebelum dia usia dua tahun, jangan sampai terlambat," kata Nita, dikutip dari Antara, Rabu (24/1/2023).

Stunting merupakan masalah kesehatan kronis yang terjadi sejak dalam kandungan. Apabila kondisi tidak ditangani hingga anak lewat usia dua tahun, sangat sulit untuk dikembalikan ke tumbuh kembang yang optimal.

Nita melanjutkan, jika dikejar setelah si kecil usia dua tahun dengan memberikan makan yang banyak, anak justru malah jadi kegemukan karena tinggi badan yang tidak proporsional.

Nita juga menekankan anak stunting berbeda dengan stunted atau hanya bertubuh pendek. Jika anak stunted karena pertumbuhan tinggi badan yang kronis, orangtua bisa langsung periksa ke dokter anak.

Baca juga: Apa Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dengan Stunting?

Mencegah stunting dengan protein hewani

Peringatan Hari Gizi Nasional 2024 mengangkat tema 'MPASI Kaya Akan Protein Hewani Cegah Stunting'. Hal ini sebagai upaya fokus pemerintah dalam menghadapi permasalahan stunting di Indonesia.

Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Lovely Daisy, M.KM, mengatakan rendahnya asupan protein hewani dapat menyebabkan stunting pada anak.

"Berdasarkan riset di 49 negara yang dilakukan pada 130.000 anak usia 6-23 bulan ini, ditemukan bahwa stunting pada balita disebabkan oleh rendahnya asupan makanan sumber protein hewani," katanya pada temu media dalam memperingati Hari Gizi Nasional di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

Karena itu, Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Lovely Daisy, menekankan protein hewani harus dikonsumsi pada anak dalam kurun usia 6-23 bulan yang bersumber dari daging merah, telur, ikan, dan ayam.

Sumber protein hewani yang berbeda bertujuan untuk melengkapi jenis asam amino esensial yang dibutuhkan pada saat anak mengalami masa emas tumbuh kembangnya yang juga terjadi dalam kurun waktu tersebut.

Untuk itu, Daisy menyebutkan pemenuhan konsumsi protein pada anak berusia 6-23 tahun dapat diintervensi melalui Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI).

Dengan pemberian MPASI lengkap, termasuk menambahkan protein hewani, kebutuhan makronutrisi dan mikronutrisi anak dapat terpenuhi dan terhindar dari stunting.

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau