KOMPAS.com - Anak gemuk masih dianggap sebagai sesuatu yang lucu dan menggemaskan. Bahkan, anak gemuk sering dijadikan simbol kemakmuran orangtua. Padahal, anak dengan berat badan berlebih memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit tidak menular.
Seperti halnya orang dewasa, kegemukan pada anak-anak juga perlu dipandang sebagai masalah kesehatan. Apalagi di Indonesia prevalensi obesitas anak meningkat dari 10,05 persen pada tahun 2007 menjadi 21,8 persen pada tahun 2018.
Obesitas pada anak bisa disebabkan karena penumpukan kalori berlebih selama bertahun-tahun. Penyebab utamanya adalah faktor genetik, asupan makan berlebih, dan kurang aktivitas fisik.
Wakil Menteri Kesehatan Prof.dr.Dante Saksono Harbuwono Sp.PD mengatakan, anak obesitas beresiko tinggi mengalami resistensi insulin atau kondisi di mana tubuh tidak bisa merespon insulin dengan baik sehingga kadar gula darah tinggi.
Baca juga: Bagaimana Cara Mengetahui Obesitas? Ini Penjelasannya...
Cara yang tepat untuk menentukan apakah seorang anak mengalami obesitas atau tidak adalah dengan melakukan pengukuran antropometri.
"Diukur berdasarkan berat badan dan tinggi badannya, lalu diplot ke kurva pertumbuhan anak. Kalau persentilnya lebih dari 85 maka anak tergolong kegemukan, tapi kalau lebih dari 95 maka anak obesitas," papar Prof.Dr.Aman Bhakti Pulungan Sp.A, dalam acara yang sama.
Baca juga: 18 Bahaya Anak Obesitas yang Harus Diperhatikan Orangtua
Data yang dihimpun Prof.Aman menunjukkan bahwa sekitar 15-16 persen anak yang masih menjadi siswa SD di Jakarta mengalami resistensi insulin, sementara 34 persen anak SD di Jakarta telah mengalami hipertensi.
Dengan kondisi ini, risiko penyakit diabetes dan penyakit lainnya pada anak-anak ini hampir pasti meningkat.
Ketika anak itu sudah bertahun-tahun mengalami obesitas maka akan timbul warna kehitaman pada leher anak. Ini merupakan tanda acanthosis nigricans (AN), suatu kelainan kulit yang umum terjadi pada anak gemuk.
"Pada anak, perhatikan apakah ada lingkar kehitaman di leher bagian belakang. Kalau ada, pertanda sudah terjadi resistensi insulin dan bisa menjadi diabetes melitus," kata Prof.Dante.
Kelebihan lemak di seluruh tubuh juga dapat menyebabkan anak obesitas sering mengalami sesak napas.
Baca juga: Cegah Bayi Obesitas, Ini 6 Kebiasaan yang Harus Diterapkan Orangtua
Pada anak perempuan, obesitas juga dapat membuat menstruasi lebih dini yang membuat tinggi badannya tidak optimal. Anak yang gemuk juga rentan mengalami sindrom polikistik ovarium (PCOS).
"Dulu rata-rata anak perempuan haid usia 13 tahun, sekarang mulai haid di usia 11 tahun 9 bulan karena indeks massa tubuh yang bertambah. Lemak tubuh berlebihan membuat pubertas lebih cepat," kata Prof.Aman.
Kalau anak sudah haid, pertambahan tinggi badannya tidak sampai 10 sentimeter lagi dan setelah dua tahun akan berhenti pertumbuhannya.
"Kalau dia haid pertama tingginya masih 130, otomatis dia tidak akan sampai 150 tinggi badannya.
Gaya hidup sehat yang terdiri dari pola makan bergizi seimbang dan aktif bergerak merupakan kunci untuk mengatasi obesitas pada anak.
Menurut Prof.Aman, pola makan sehat pada anak adalah membatasi asupan gula dan garam sejak dini.
"Yang harus dibatasi adalah karbohidratnya. Untuk lemak, kalau anak tidak kegemukan tidak masalah karena kita juga butuh lemak untuk proses berpikirnya," katanya.
Selain itu ia juga merekomendasikan orangtua mengadopsi aturan 5-2-1-0.
"Anak obesitas sebaiknya 5 kali makan buah dan sayuran dalam sehari, baik untuk makan utama dan camilan. Lalu tidak duduk lebih dari dua jam, satu kali olahraga atau bergerak aktif selama satu jam dalam sehari, serta nol (zero) konsumsi gula," katanya.
Baca juga: Bagaimana Cara Mengetahui Obesitas? Ini Penjelasannya...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.