Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Apt. Nofrianti, S.Farm
Apoteker

Nofrianti adalah apoteker yang berdedikasi di salah satu puskesmas di Bukittinggi. Dengan latar belakang pendidikan farmasi yang solid, ia berkomitmen untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pelayanan profesional dan pengetahuan obat yang komprehensif. Setiap hari, Nofrianti bekerja dengan penuh semangat untuk memastikan pasien mendapatkan informasi dan pengobatan yang tepat. Keahliannya dalam mengelola stok obat dan memberikan konsultasi membuatnya menjadi aset penting dalam tim kesehatan puskesmas tersebut.

Paradoks Kemajuan: Gaya Hidup Modern dan Meningkatnya Penyakit Tak Menular

Kompas.com - 08/08/2024, 14:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DIABETES dan hipertensi, dua penyakit yang dulu dianggap sebagai "penyakit orang kaya", kini menjadi keniscayaan yang ironis di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

‘Kemajuan’ gaya hidup, seperti kata-kata yang terukir di neon box pusat perbelanjaan, bukan hanya membawa hujan dollar melalui konsumerisme yang merajalela, tetapi juga berbagai penyakit metabolik yang mematikan.

Dari warung kopi pinggir jalan hingga meja makan di rumah mewah, dari pedesaan yang asri hingga perkotaan yang sumpek, diabetes dan hipertensi melenggang tanpa pandang bulu, seolah-olah menjadi bagian tak terpisahkan dari menu masyarakat modern.

Perubahan pola makan ini tercermin dalam data statistik yang mengejutkan. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi diabetes melitus di Indonesia naik dari 6,9 persen pada 2013 menjadi 8,5 persen pada 2018.

Sementara prevalensi hipertensi meningkat dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen dalam periode yang sama.

Fenomena ini tidak terlepas dari meningkatnya konsumsi kalori per kapita yang tercatat sebesar 2.878 kkal per hari pada 2019, melebihi angka yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Lonjakan ini diikuti pertumbuhan cepat pasar makanan cepat saji, yang pendapatannya di Indonesia diproyeksikan meningkat sebesar 11,5 persen per tahun antara 2018 dan 2023.

Tak hanya berdampak pada peningkatan angka penyakit tidak menular, pola konsumsi ini juga mengubah komposisi belanja rumah tangga.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, belanja untuk makanan dan minuman cepat saji menduduki porsi yang semakin besar dari pengeluaran keluarga.

Ironisnya, di tengah kemewahan akses ke makanan instan, konsumsi buah dan sayur masyarakat masih jauh dari cukup.

WHO merekomendasikan konsumsi buah dan sayur minimal 400 gram per hari. Namun menurut Riskesdas, rata-rata konsumsi harian buah dan sayur masyarakat Indonesia hanya 239 gram.

Ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara gaya hidup modern yang serba cepat dengan kebutuhan dasar nutrisi seimbang, memperlihatkan paradoks mendalam dalam 'kemajuan' kita.

Meski informasi mengenai cara hidup sehat kian melimpah di internet, paradoksnya, pengaruhnya terhadap perubahan perilaku kesehatan di Indonesia masih terbatas.

Menurut data Kementerian Kesehatan RI pada 2023, hanya sekitar 30 persen populasi yang aktif mencari informasi kesehatan yang dapat dipercaya. Sisanya, lebih banyak terpengaruh oleh iklan atau informasi yang sesaat dan tidak mendalam.

Bahkan dalam survei sama, ditemukan bahwa 65 persen masyarakat tidak merasa perlu mengubah gaya hidup mereka meski sudah mengetahui risiko kesehatan seperti diabetes dan hipertensi.

Ini mencerminkan gap yang signifikan antara ketersediaan informasi kesehatan dengan aplikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari yang sehat.

Di sisi lain, sistem pendidikan di Indonesia sering kali gagal dalam mengintegrasikan pengetahuan kesehatan ke dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Kurikulum yang ada masih terpaku pada teori dasar dan ujian akademik yang rigid, tanpa menanamkan kebiasaan dan keterampilan hidup sehat sejak dini.

Padahal, menurut studi yang diterbitkan oleh Universitas Indonesia pada 2022, siswa yang diajarkan tentang nutrisi dan olahraga secara praktis cenderung 40 persen lebih aktif secara fisik dan membuat pilihan makanan yang lebih sehat dibandingkan mereka yang hanya mendapatkan teori.

Di rumah, orangtua sering kali terjebak dalam rutinitas padat sehingga lebih memilih makanan siap saji yang praktis, tetapi kurang nutrisi.

Faktor ini juga turut berkontribusi pada tingkat kejadian obesitas pada anak yang terus meningkat setiap tahunnya, dengan data terbaru menunjukkan peningkatan hingga 20 persen dalam lima tahun terakhir.

Paradoks pelayanan kesehatan

Meskipun Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan dalam pembangunan infrastruktur kesehatan dengan peningkatan jumlah puskesmas yang mencapai lebih dari 9.800 unit dan rumah sakit yang berjumlah lebih dari 2.800 di seluruh negeri, masalah utama terletak pada distribusi dan aksesibilitas yang tidak merata.

Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan, prevalensi diabetes di Indonesia telah mencapai sekitar 6,2 persen total populasi, sementara hipertensi mencapai hampir 25,8 persen.

Hal ini menunjukkan kesenjangan yang besar antara kebutuhan dan ketersediaan layanan kesehatan preventif, di mana hanya sebagian kecil dari pendanaan kesehatan yang dialokasikan untuk program pencegahan penyakit kronis.

Lebih jauh lagi, struktur biaya yang berfokus pada pengobatan menunjukkan dominasi intervensi medis setelah timbulnya penyakit, daripada pencegahan.

Studi terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen pengeluaran kesehatan di Indonesia adalah untuk pengobatan langsung penyakit kronis dan akut, sedangkan hanya kurang dari 4 persen yang digunakan untuk program pencegahan dan promosi kesehatan.

Kondisi ini mencerminkan paradoks dalam sistem kesehatan di mana sumber daya besar digunakan setelah penyakit berkembang menjadi lebih serius, yang tidak hanya lebih mahal untuk ditangani, tetapi juga lebih sulit untuk diobati.

Konsekuensi dari pendekatan reaktif ini tidak hanya membebani sistem kesehatan, tetapi juga menyebabkan penurunan kualitas hidup individu yang terkena dampaknya.

Kita memerlukan urgensi yang sama untuk pencegahan seperti yang kita berikan untuk pengobatan, agar dapat menerangi jalur menuju kesehatan yang lebih berkelanjutan dan inklusif bagi semua lapisan masyarakat.

Untuk menggairahkan transformasi ini, kunci pertamanya terletak pada pendidikan. Kurikulum sekolah harus mencakup informasi kesehatan yang tidak hanya teoritis, tetapi juga praktis dan relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa.

Contohnya, mengintegrasikan kegiatan memasak yang sehat di sekolah bisa menjadi langkah awal yang baik.

Ini tidak hanya mengajarkan siswa tentang nilai nutrisi makanan yang mereka konsumsi, tetapi juga memberikan mereka keterampilan untuk memilih dan mempersiapkan makanan yang baik untuk kesehatan jangka panjang.

Data terbaru menunjukkan bahwa kebiasaan makan yang ditanamkan sejak dini dapat mengurangi risiko terkena penyakit kronis hingga 40 persen pada masa dewasa.

Di sisi lain, media memiliki peran strategis dalam membentuk persepsi publik tentang gaya hidup sehat.

Program televisi, artikel online, dan kampanye sosial media yang menarik dapat memainkan peran vital dalam mengedukasi masyarakat.

Misalnya, program yang menampilkan cara mudah untuk berolahraga di rumah atau memasak makanan sehat bisa sangat berpengaruh.

Selain itu, kebijakan pemerintah yang mendukung dengan memberikan insentif untuk produksi dan konsumsi makanan sehat juga sangat diperlukan.

Studi terkini menunjukkan bahwa subsidi untuk buah dan sayuran bisa meningkatkan konsumsi ini sekitar 14 persen, menurunkan prevalensi obesitas dan penyakit terkait lainnya secara signifikan di masyarakat.

Dengan adanya dukungan pemerintah, masyarakat mungkin akan lebih mudah mengadopsi dan mempertahankan gaya hidup sehat, mengurangi prevalensi diabetes dan hipertensi, yang tidak hanya menguntungkan kesehatan individu, tetapi juga mengurangi beban pada sistem kesehatan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau