Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Orang Mudah Percaya Hoaks Kesehatan di Media Sosial

Kompas.com - 16/10/2024, 12:00 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com - Media sosial saat ini sering dipakai untuk mendapatkan informasi, termasuk saran kesehatan. Namun, ada banyak misinformasi atau hoaks yang keliru, bahkan membahayakan kesehatan.

Menurut pengamat sosial dari Vokasi Universitas Indonesia Dr.Devie Rahmawati, masyarakat menerima hoaks setiap hari lebih dari satu kali.

"Saluran yang paling banyak digunakan dalam penyebaran hoaks adalah media sosial. Fenomena hoaks di Indonesia menimbulkan keraguan terhadap informasi yang diterima dan membingungkan masyarakat," paparnya dalam acara temu media di Jakarta (14/10/2024).

Banyak studi juga menunjukkan, misinformasi terkait kesehatan paling banyak beredar di media sosial, selain misinformasi terkait politik dan agama.

Miinformasi seputar kesehatan bukan cuma menimbulkan kepanikan di lingkungan sekitar, tapi juga menyebabkan rasa takut berlebih, hingga menimbulkan rasa benci dan stigma.

Baca juga: INFOGRAFIK: Hoaks Kesehatan Beredar Masif di Medsos, Simak Tips agar Tidak Tertipu

Menurut Devie ada beberapa alasan mengapa orang menyebarkan hoaks atau pun misinformasi tanpa disadari, yakni ingin menjadi pahlawan, kurangnya pengetahuan dan pengalaman, karena unsur pergaulan, personalitas, dan juga platform.

"Ada alasan mengapa orang mengira berita hoaks yang diterima itu bukan hoaks, antara lain karena merasa informasinya diperoleh dari orang yang dapat dipercaya, serta kalimatnya meyakinkan," paparnya.

Terkait informasi kesehatan di media sosial, menurut dr.Ervan Surya Sp.OG, masyarakat memang perlu berhati-hati.

"Ada beberapa tingkatan dalam informasi kesehatan, yang paling rendah adalah perkataan pakar dan yang paling tinggi adalah yang berbasis riset atau penelitian yang dimuat dalam jurnal," katanya di acara yang sama.

Devie menekankan bahayanya dampak dari misinformasi.

“Bisa terjadi kebingungan, kegagalan, kebodohan, sampai konflik sosial,” tegasnya.

Baca juga: Dokter Luruskan Mitos Mandi Malam Hari Sebabkan Pneumonia

Berbeda dengan proses pembuatan berita di media massa yang harus melewati proses editing berlapis sebelum dipublikasikan, pembuatan konten di media sosial tidak ada editing sehingga siapa pun bisa memproduksi.

Untuk mencegah penyebaran misinformasi, menurut Devie perlu kolaborasi antara penulis, konten kreator, pesohor, platform, dan pembaca.

"Ada banyak cara untuk melakukan cek fakta; ini bisa dimanfaatkan. Ruang digital bisa menjadi hal yang positif bila dimanfaatkan dengan baik,” katanya.

Masyarakat juga perlu mengecek substansi informasi, tidak hanya membaca judul yang sensasional saja. Tentu yang paling baik adalah membaca informasi dari sumber yang kredibel, termasuk situs resmi pemerintah. Jika masih ragu dengan informasi tersebut, kita bisa bertanya pada pakar seperti dokter atau ilmuwan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau