Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Perlu Impor Susu Kalau Peternak Lokal Digdaya

Kompas.com - 12/12/2024, 20:00 WIB
Elizabeth Ayudya Ratna Rininta

Penulis

MALANG, KOMPAS.com - Hujan deras baru saja reda di Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (10/12/2024) sore. Udara segar menyelimuti peternakan sapi perah milik Tatok Harianto, seorang peternak sukses yang telah membuktikan bahwa dengan manajemen tepat, peternakan lokal mampu menghasilkan susu berkualitas tinggi.

Tatok, anggota tetap Koperasi SAE Pujon sejak 2009, memulai usaha ternaknya dengan delapan ekor sapi. Kini, pada 2024, ia memiliki 24 ekor sapi. Satu ekor sapi milik Totok, rata-rata menghasilkan 25,9 liter susu per hari.

Angka ini jauh di atas rata-rata nasional, yaitu satu ekor sapi hanya menghasilkan 12-13 liter per hari. Dengan capaian tersebut, Tatok telah menjadi contoh keberhasilan dalam industri susu sapi nasional.

Baca juga: Tangki Pendingin: Siasat Produsen Susu Dukung Makan Bergizi Gratis

Belajar dari Belanda

Kesuksesan Tatok tidak lepas dari pengalamannya mengikuti pelatihan di Belanda melalui program Youth Partnership for Agriculture (YPFA) yang digagas PT. Frisian Flag Indonesia (FFI). Menurutnya, banyak pelajaran yang ia terapkan di peternakannya.

“Pelatihan di luar negeri seperti studi banding. Cara beternak di Belanda dan Indonesia hampir sama, hanya manajemennya yang berbeda,” ujar Tatok saat dihubungi Kompas.com, Kamis (12/12/2024).

Ia melanjutkan, salah satu perubahan signifikan adalah penerapan kandang khusus untuk sapi melahirkan. Sebelumnya, sapi-sapi diikat di kandang yang sama untuk makan, minum, hingga melahirkan. Hal ini menyebabkan proses kelahiran menjadi sulit dan berdampak pada produktivitas susu.

“Setelah dilepas di kandang khusus, proses kelahiran jadi lebih lancar. Kalau lahirannya lancar, produksi susu juga ikut tinggi,” tambah Tatok.

Selain itu, ia juga mengubah pola pemberian pakan. Jika dulu konsentrat diberikan dalam jumlah besar, kini hijauan menjadi komponen utama, dengan konsentrat hanya sebagai tambahan. Pola ini tidak hanya meningkatkan kesehatan sapi, tetapi juga produktivitas susu.

Tatok juga menekankan pentingnya pemahaman tentang pemberian pakan berdasarkan berat badan sapi. “Ternyata ada ilmunya. Misalnya, sapi dengan bobot tertentu membutuhkan hijauan dan konsentrat dalam jumlah yang terukur. Jadi, setiap sapi punya porsi makan yang berbeda,” jelasnya.

Tatok Harianto sedang memerah sapi dengan alat pemerah otomatis, Selasa (10/12/2024)KOMPAS.com/Elizabeth Ayudya Tatok Harianto sedang memerah sapi dengan alat pemerah otomatis, Selasa (10/12/2024)

Ia juga memanfaatkan mesin perah susu, yang kini menjadi alat wajib di peternakannya. Melalui Koperasi SAE Pujon, peternak dapat mencicil mesin ini tanpa bunga. Penggunaan mesin perah terbukti meningkatkan efisiensi dan kualitas susu yang dihasilkan.

Kendala peternak lokal

Dalam perjalanan usahanya, Tatok juga menghadapi tantangan, termasuk wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) yang sempat melanda.

Beruntung, gotong royong antar peternak, pendampingan, dan penguatan dana dari FFI, peternak di Koperasi SAE Pujon dapat bangkit dan kembali menghasilkan susu dengan kualitas terbaik.

Peternak sapi di Pujon, Malang, Jawa Timur, Tatok Harianto, menuang susu hasil perah ke transfer tankKOMPAS.com/Elizabeth Ayudya Peternak sapi di Pujon, Malang, Jawa Timur, Tatok Harianto, menuang susu hasil perah ke transfer tank
Menutup perbincangannya, Totok menyampaikan bahwa susu lokal selama diolah dengan benar, higienis, tidak diberi campuran apa pun, dan cepat sampai ke penampungan, tentu akan diberi harga yang sesuai sekaligus dilirik industri pengolahan susu.

Saat ini, kebutuhan susu sapi nasional sebesar 4,7 juta ton, sementara ketersediaan hanya 3 juta ton. Jika peternak seperti Tatok terus digdaya, Indonesia tidak perlu lagi bergantung pada impor susu dalam memenuhi permintaan pasar.

Baca juga: Sarapan Sehat dan Susu, Kombinasi Penting untuk Nutrisi Anak

Kualitas susu yang baik dari peternak lokal juga dapat menjadi pilar dalam meningkatkan status gizi nasional. Perlu diketahui, menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2022, prevalensi stunting di Indonesia berada di angka 21,6 persen.

Studi SEANUTS II yang diprakarsai oleh FrieslandCampina bekerja sama dengan Universitas Indonesia mendapati triple burden malnutrition dialami oleh anak-anak Indonesia, yaitu kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan mikronutrien.

Prevalensi stunting pada anak di bawah usia 5 tahun di wilayah Jawa-Sumatera mencapai 28,3 persen. Angka ini masih jauh dari target WHO sebesar 20 persen, dan target pemerintah 14 persen pada 2024.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau