SURABAYA, KOMPAS.com - Epilepsi adalah gangguan sistem saraf pusat yang diakibatkan lepasnya muatan listrik otak secara berlebihan dan menyebabkan aktivitas otak terganggu. Imbasnya, seseorang mengalami kejang, perubahan perilaku yang tidak biasa, atau kehilangan kesadaran.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2024, estimasi penderita epilepsi di Indonesia adalah 1,5 juta dengan prevalensi 0,5-0,6 persen dari populasi.
Menurut dokter spesialis saraf RS Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Wardah Rahmatul Islamiyah, Sp.S, estimasi penderita epilepsi di Surabaya didapatkan sekitar dua sampai enam persen dari jumlah populasi penduduk.
Dia menjelaskan kejang epilepsi biasanya terjadi secara tiba-tiba dan tidak ada pencetus kejadian apapun selama tujuh hari terakhir. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya konsleting aliran listrik di dalam otak lalu terjadi kejang.
Baca juga: Mengatasi Kejang Epilepsi pada Pasien Tak Mempan Obat
Penyebab epilepsi bisa bermacam-macam. Mulai dari trauma kepala akibat kecelakaan, cedera prenatal atau bawaan lahir, infeksi pada otak, hingga gangguan perkembangan seperti autisme dan neurofibromatosis.
Namun, Ia menegaskan bahwa tidak semua kejang bisa berakibat epilepsi. Tergantung bagaimana penanganan pertama yang dilakukan.
“Kalau kejangnya semenit kemudian berhenti, maka otak akan memperbaiki diri, tapi kalau lebih dari lima menit, maka dapat beresiko menyebabkan kerusakan permanen yang akan berimbas pada penyakit epilepsi,” terangnya kepada Kompas.com, Kamis (27/2/2025).
Penanganan kejang
Dokter wardah memberikan beberapa cara penanganan pertama yang dapat dilakukan pada pasien kejang.
Pertama, mengamankan posisi pasien. Apabila pasien berada di tempat ketinggian atau di tengah jalan, maka harus dipinggirkan.
Baca juga: Jangan Panik, Berikut Tips Menangani Kejang pada Anak
Kedua, jangan memasukkan apapun ke dalam mulut pasien. Miringkan posisi pasien ke kiri atau ke kanan agar tidak tersedak air liur.
Kemudian, longgarkan pakaian atau apa pun yang melekat kuat di tubuh pasien. Ketiga, tunggu pasien sampai kejangnya berhenti. Tapi, jika tidak berhenti dalam kurun wkatu lima menit, maka segera lakukan panggilan tenaga media untuk penanganan lebih lanjut.
“Jadi kita enggak perlu melakukan sesuatu, pokoknya ditungguin saja sembari langsung melihat jam. Kalau sudah berhenti dalam waktu satu menit, maka biarkan, lalu arahkan pasien ke pusat layanan kesehatan. Kalau lebih dari lima menit itu yang dapat berisiko epilepsi,” ujarnya.
Dia menambahkan, ada baiknya saksi mata yang melihat saat terjadi kejang untuk merekamnya sebagai bahan penilaian dokter menilai apakah kejang yang terjadi termasuk epilepsi atau bukan.
Baca juga: Epilepsi Sering Disangka Kesurupan, Kenali Penyebab dan Pemicunya
“Nanti untuk pastinya juga bisa dengan melakukan pemeriksaan rekam otak atau EEG (Electroencephalogram) agar hasilnya lebih akurat,” tuturnya.