Oleh Kristi Poerwandari
Belum lama ini diberitakan mengenai guru SD yang menggunting rambut siswanya akibat tiga kali peringatannya untuk memotong rambut diabaikan. Orangtua siswa yang tidak terima mendatangi rumahnya dan membalas menggunting rambut guru itu. Orangtua itu akhirnya dilaporkan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
Banyak lagi cerita lainnya dalam keseharian hidup kita yang menunjukkan ada orang-orang yang mengalami kesulitan mengendalikan diri khususnya mengelola emosi marah. Rasa marah dapat membuat orang memaki dengan kasar, menghancurkan pintu kaca, menganiaya, bahkan menghilangkan nyawa orang lain.
Interpretasi atas peristiwa
Albert Ellis dalam teori klasiknya (1975) mengungkapkan bahwa reaksi emosional dan perilaku manusia dipengaruhi bukan oleh peristiwa yang dialami, melainkan oleh interpretasi (pemaknaan)-nya terhadap peristiwa itu. Oleh karena itu, orang yang berbeda dapat bereaksi berbeda terhadap peristiwa yang sama.
Ellis menamakan gagasannya ini sebagai teori ABC, yaitu bahwa suatu peristiwa (A) akan mengaktifkan interpretasi kita (B) terhadap peristiwa tersebut, yang selanjutnya akan menggerakkan konsekuensi (C) berupa perasaan sikap ataupun perilaku kita.
Bayangkan seorang anak yang harus berjalan kaki selama 20 menit ke sekolah (A). Ia memaknai tindakan berjalan kaki itu melelahkan atau tidak menyenangkan (B). Akibatnya ia akan menggerutu sepanjang jalan atau bahkan menolak untuk bersekolah (C).
Bedakan dengan anak lain yang harus berjalan kaki selama 20 menit menuju sekolah (A). Ia memaknai tindakan berjalan kaki itu menyehatkan atau bahkan menyenangkan karena dapat melihat pemandangan sekitar (B). Ia akan berjalan kaki dengan penuh semangat (C).
Pandangan atau cara kita memaknai sesuatu akan menentukan tindakan selanjutnya. Orang yang memukul atau menganiaya bertanggung jawab atas tindakannya. Tidak ada alasan baginya untuk membenarkan tindakannya.
Contoh dalam kehidupan perkawinan: Ani mengatakan kepada suaminya, ”Anak-anak sudah diminta gurunya untuk segera melunasi uang sekolah.” Adi, suami Ani, memaknai ucapan itu sebagai desakan atau bahkan penghinaan terhadap penghasilannya yang kurang memadai. Adi lalu memukul Ani sebagai balasan atas ”penghinaan” yang dianggapnya telah dilakukan istrinya.
Bedakan dengan pasangan Ina-Ino. Ina berkata, ”Anak-anak sudah diminta gurunya untuk segera melunasi uang sekolah.” Ino, suami Ina, memaknai ucapan Ina sebagai kenyataan/fakta yang harus dihadapi. Ia lalu berpikir mencari penghasilan tambahan. Jawab Ino, ”Doakan saya bisa bekerja lebih keras lagi agar cepat mendapatkan uang untuk membayar uang sekolah anak-anak.”
Refleksi diri
Perilaku tak terkendali dapat bereskalasi dengan dampak sangat fatal. Dalam keadaan marah, kita sebaiknya tidak tergesa-gesa bertindak. Kita justru perlu mengambil napas panjang demi memberikan kesempatan kepada diri untuk berpikir. Apa yang mendasari perasaan marah saya? Pesan apa yang akan diterima oleh orang lain dari tindakan yang saya lakukan? Apakah tindakanku akan lebih banyak berdampak positif atau negatif?
Bagaimanakah orangtua atau orang-orang dewasa di sekitar kita (saat kita kanak) memberikan contoh mengenai bagaimana mengelola kemarahan? Apakah mereka memberikan contoh bahwa konflik dapat ditangani melalui kekerasan? Apakah mereka mendidik anak melalui banyak kemarahan?
Model peran mungkin adalah orangtua, anggota keluarga, guru, pelatih, tetangga, teman sebaya, atau siapa pun yang memberikan kesan cukup besar dan memengaruhi perilaku kita. Kita perlu merenung: apakah akan melanjutkan cara-cara mereka atau mengubahnya agar anak dan pasangan kita tidak terluka?
Kita juga perlu meneliti dan jujur mengenai diri sendiri: kapan merasa marah? Dalam kesempatan (untuk persoalan) apa saja? Kepada siapa? Apa yang dirasakan tubuh ketika rasa marah demikian memuncak? Apakah darah terasa naik ke kepala, tangan mengepal, dan kemudian badan dan tangan bergerak untuk menghantam?
Analisis diri diperlukan untuk mampu secara tepat mengambil ”time out”. ”Time out” adalah tindakan meninggalkan situasi (konflik) begitu kita merasakan kemarahan yang intens dan nyaris tak terkendali. Tujuannya untuk menghentikan peningkatan kemarahan agar kita dapat berpikir jernih dan terhindar dari melakukan tindakan melukai atau yang akan kita sesali kemudian.
Kapan kita harus mengambil ”time out”? Secepatnya begitu kita mengenali kemarahan (diri sendiri atau orang lain) makin meningkat. Kita dapat membuat daftar ”petunjuk” atau ”tanda kemarahan” yang menyadarkan kita mengenai waktu yang tepat untuk mengambil ”time out”. Untuk keamanan, sebaiknya kita tidak pergi menyetir mobil, minum alkohol, menggunakan obat, atau berkumpul dengan orang lain yang akan membuat emosi kita makin panas.