KOMPAS.com — Tahun 2007, Kementerian Kesehatan mengeluarkan larangan medikalisasi sunat (khitan) perempuan oleh petugas kesehatan. Pelarangan itu bukan hanya selaras dengan ajaran Islam, tetapi juga kaidah kesehatan modern.
Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan Organisasi Kesehatan Dunia di Kairo, Mesir, 1994, melarang khitan bagi perempuan. Alasannya, khitan merusak dan membahayakan organ reproduksi perempuan.
Pelarangan itu mendapat respons keras dari Majelis Ulama Indonesia melalui Keputusan Fatwa Nomor 9A Tahun 2008. Menurut MUI, khitan bagi perempuan adalah makrumah (memuliakan) dan pelarangan khitan bagi perempuan dianggap bertentangan dengan syiar Islam.
Kemkes merespons fatwa MUI itu dan mengeluarkan Peraturan Menkes Nomor 1636 Tahun 2010 yang menyetujui dan mendorong pelaksanaan khitan perempuan. Permenkes ini bahkan merinci tahap demi tahap yang harus dilakukan agar praktik sunat bagi perempuan dilakukan dalam rangka perlindungan perempuan; dilakukan sesuai dengan ketentuan agama, standar pelayanan, serta standar profesi untuk menjamin keamanan dan keselamatan perempuan yang disunat.
Secara historis, praktik khitan bagi perempuan telah ada sebelum agama Islam lahir. Khitan perempuan menjadi tradisi di banyak masyarakat. Berdasarkan riset Population Council, di Indonesia, khitan perempuan dilakukan di berbagai daerah, seperti Banten, Gorontalo, Makassar, Padang Sidimpuan, Madura, Padang, Padang Pariaman, Serang, Kutai Kartanegara, Sumenep, Bone, Gorontalo, dan Bandung. Alat untuk menyunat adalah pisau (55 persen), gunting (24 persen), sembilu (bambu) atau silet (5 persen), jarum (1 persen), serta sisanya sekitar 15 persen pinset, kuku atau jari penyunat, koin, dan kunyit. Caranya adalah dengan pemotongan klitoris, yaitu insisi (22 persen) dan eksisi (72 persen) menggunakan gunting, serta mengerik dan menggores klitoris (6 persen) menggunakan bambu atau silet.
Praktik khitan bagi perempuan menimbulkan banyak korban, umumnya karena pendarahan. Penulis Mesir Nawal el Sadawi banyak menulis tentang kematian gadis dan anak perempuan akibat praktik ini. Penelitian International Planned Parenthood Federation tahun 2001 menyebutkan, dampak khitan sangat beragam, seperti depresi, nyeri saat berhubungan seksual, mengurangi kenikmatan seksual, infeksi saluran kemih, radang panggul kronik, frigiditas, pendarahan, dan kematian.
Ayat yang senantiasa dijadikan rujukan hukum atas sunat bagi laki-laki dan perempuan adalah QS An-Nahl:123, yang artinya ”Kemudian Kami wahyukan kepadamu agar mengikuti millah Nabi Ibrahim.” Menurut KH Husein Muhammad dari Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, tidak ada pakar tafsir yang mengaitkan ayat tersebut dengan kewajiban khitan bagi perempuan. Sebaliknya, ayat tersebut tengah membicarakan hal-hal pokok dalam doktrin agama, seperti tentang keyakinan tauhid dan cara manasik haji Nabi Ibrahim. Para pakar tafsir klasik sekalipun, seperti Al-Qurthubi, menjelaskan, ayat tersebut berkenaan dengan perintah kepada Nabi Muhammad untuk ikut manasik haji Nabi Ibrahim.
Al-Thabari mengatakan, ayat itu intinya memerintahkan Nabi Muhammad membebaskan diri dari penyembahan terhadap berhala dan kepasrahan kepada Tuhan. Fakhr al-Din al-Razi mengemukakan, maksud ayat itu adalah Tuhan memerintahkan Nabi Muhammad mengikuti metode Nabi Ibrahim dalam menyampaikan dakwah tentang kemahaesaan Tuhan (tauhid), yakni dengan cara halus, lembut, memudahkan, dan argumen rasional, sebagaimana ditunjukkan Al Quran dalam ayat-ayat lain.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, perujukan ayat di atas sebagai dasar perlunya khitan bagi perempuan adalah alasan mengada-ada (takalluf) dan memaksakan. Ayat tersebut bicara lebih luas dan mendasar daripada sekadar khitan. Lebih lanjut, Qardhawi juga berargumen, apabila khitan menyakitkan secara fisik dan psikologis, membuat perempuan terhalang memperoleh hak fitrahnya, tindakan itu haram.