Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gemuk Saat Kecil, Masalah Saat Dewasa

Kompas.com - 10/11/2011, 11:07 WIB

KOMPAS.com — Para dokter kesehatan anak kini tengah berusaha untuk mengubah pola pikir masyarakat akan citra anak gemuk dan montok sebagai anak sehat. Anak dengan berat badan berlebih lebih berisiko menderita penyakit kronik di usia dewasa. Kecerdasan mereka juga sedikit berada di bawah rata-rata dibandingkan dengan anak yang berat badannya normal.

Di seluruh dunia, jumlah anak yang kegemukan dan obesitas terus meningkat. Pada tahun 1990, jumlahnya baru 26,9 juta dan pada tahun 2010 sudah mencapai 42,8 juta. Di Indonesia tak jauh berbeda. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2007 ditemukan 12 persen anak usia 0-5 tahun yang kegemukan dan obesitas, sementara anak remaja mencapai 19 persen.

"Di Indonesia, masih menjadi dilema karena masalah obesitas terjadi bersamaan dengan masalah gizi kurang. Tapi kini kecenderungannya sudah lebih banyak yang obesitas," kata dr Ahmad Suryawan, SpA, Ketua Divisi Tumbuh Kembang Anak & Remaja RSU Dr Soetomo Surabaya, di Jakarta (9/11/2011).

Berbeda dengan anak bergizi buruk, menurut Suryawan, kebanyakan orangtua tidak menyadari anaknya kegemukan atau obesitas. Padahal obesitas pada anak membuat anak rentan menderita penyakit diabetes, hipertensi, atau penyakit jantung dan pembuluh darah di usia dewasa.

Selain itu, obesitas juga berdampak pada tumbuh kembang anak. "Anak lebih rentan pada gangguan emosi dan perilaku karena kepercayaan dirinya rendah, mereka juga rentan mengalami gangguan motorik dan kecerdasannya lebih rendah," paparnya.

Secara umum, ada beberapa faktor yang memicu kegemukan dan obesitas, antara lain, faktor genetik, asupan karbohidrat atau gula berlebihan, aktivitas fisik terbatas, serta gangguan hormonal.

Untuk mendeteksi apakah anak menderita kegemukan, orangtua wajib melakukan pengukuran tumbuh kembang secara berkala. "Jika persentil pertumbuhan anak di atas normal, perhatikan pola makan anak, batasi asupan sukrosa atau gula dalam makanan anak," ujarnya.

Ditambahkan oleh dr Inge Permadhi, ahli gizi klinik dari Departemen Ilmu Gizi FKUI, karena masih dalam masa pertumbuhan, anak tidak boleh melakukan diet ketat. "Pola makannya tetap tiga kali sehari, tetapi jumlah makanan harus seimbang dan sesuai dengan usianya," katanya dalam kesempatan yang sama.

Pola makan yang sehat, menurut Inge, adalah yang bervariasi. "Kalau anak sudah makan nasi, jangan lauknya mi atau kentang karena semuanya karbohidrat. Pastikan dalam piringnya juga ada protein dan lemak, tapi lemaknya yang sehat," imbuhnya.

Untuk bayi usia kurang dari 6 bulan, bayi wajib mendapatkan ASI. "Di dalam ASI tidak terdapat sukrosa, hanya laktosa dan ini sangat baik untuk pencernaannya. Makin dini anak diperkenalkan pada sukrosa, misalnya yang terdapat dalam susu formula, hasilnya akan semakin jelek," katanya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau