JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kesehatan mengaku optimistis Rancangan Peraturan Perundang-undangan (RPP) gula, garam dan lemak dapat disahkan dalam waktu dekat. Hal itu disampaikan Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Ekowati Rahajeng saat acara temu media, Jumat (25/5/2012), di kantor Kementerian Kesehatan RI.
"Jadi, regulasi itu mempunyai peran yang besar dengan perilaku hidup sehat masyarakat Indonesia dan itu punya peran sangat besar dalam perkembangan penyakit tidak menular," ujar Eko.
Eko mengungkapkan, konsumsi garam masyarakat Indonesia terbilang sudah sangat tinggi, bahkan melebihi batas normal yang dianjurkan, begitu pula dengan gula dan lemak. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada perkembangan penyakit tidak menular seperti hipertensi, jantung dan stroke.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan, jumlah penderita hipertensi di seluruh Indonesia mencapai 31,7 persen. Hipertensi juga menjadi penyebab kematian sebesar 6,8 persen. Sedangkan stroke masih menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia dengan 15,4 persen.
"Kami sudah menyusun naskah akdemiknya. Mudah-mudahan tidak serumit seperti RPP rokok," tambahnya.
Eko memaparkan, pengesahan RPP ini sebetulnya sudah melewati batas yang ditentukan. Oleh karena itu, Eko berharap pada tahun ini regulasi tersebut bisa segera disahkan dan didukung berbagai pihak. Kemenkes juga akan terus berkoordinasi dengan pihak industri, mengingat peraturan ini nantinya akan menyentuh beberapa industri makanan.
"Tentu prosesnya sama seperti RPP lainnya, di mana perlu harmonisasi. Karena kita tidak bisa meluncur sendiri dan harus memperhatikan hal-hal lainnya sehingga semuanya berjalan sinkron," ujarnya.
Lebih lanjut, Eko menambahkan, perkembangan penyakit tidak menular sebetulnya tidak perlu terjadi karena bisa dicegah dengan gaya hidup sehat dan mengendalikan faktor risiko. Faktor risiko penyakit tidak menular di Indonesia hampir 24,5 persen disebabkan konsumsi garam berlebih, 12,8 persen karena konsumsi lemak berlebih dan kurangnya konsumsi sayur dan buah 93,6 persen.
"Apabila penangulangan dilakukan untuk mengobati penyakit, beban ekonomi akan lebih mahal ketimbang kita mengendalikan faktor risiko," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.