KOMPAS.com — Sekumpulan perempuan yang bernyanyi sambil menari di atas panggung identik dengan istilah girl band. Namun, tak semua kelompok menyanyi dan menari seperti ini disebut girl band, ada pula yang lebih senang disebut sebagai idol group (kelompok idola). Idol group belakangan menjadi fenomena di Indonesia, utamanya di kalangan remaja. Lantas, sejauh mana pengidolan masih dalam batas wajar atau mulai berlebihan?
Idol group sejatinya adalah istilah yang berasal dari budaya Jepang yang berarti sebuah media bagi remaja perempuan berpenampilan menarik dengan rentang usia tertentu. Saat berada dalam idol group, remaja kerap dan rutin diliput di media massa, baik sebagai penyanyi, aktris, pembawa acara, dan model di majalah atau iklan.
Yang unik, jika sudah melewati usia tertentu yang ditetapkan sebagai batas dalam suatu idol group, maka anggota wajib untuk meninggalkannya. Artinya masanya sebagai anggota idol group tersebut harus berakhir dan bisa memilih untuk tetap berada di dunia hiburan secara mandiri atau bahkan berhenti menjadi idola.
Fenomena idol di Negeri Sakura sudah dimulai sejak awal 1970-an dari seorang penyanyi Perancis Sylvie Vartan dalam filmnya yang berjudul Cherchez I'idole di tahun 1963 yang dalam bahasa Jepang berjudul Aidoru wo sagase di November 1964. Istilah itu kemudian diterapkan pada aktris atau penyanyi perempuan maupun laki-laki yang dianggap menarik.
Remaja perempuan berusia 14-16 tahun, atau laki-laki berusia 15-18 tahun pun mulai bersinar sebagai idola. Sejak saat itu, mulai banyak idola bermunculan, hingga pada tahun 2000 idola-idola membentuk kelompok sehingga dinamakan idol group.
Saat itu, idol group tidak hanya terdiri dari perempuan, tetapi juga laki-laki, idol group Arashi misalnya. Di Jepang pun, jumlah idol group sangat banyak, yang cukup mencuri perhatian dunia antara lain Morning Musume dan AKB48.
Khusus AKB48, kelompok ini menularkan budaya idol group Jepang dengan menciptakan banyak sister-group di beberapa negara, termasuk Indonesia. Tepatnya pada tahun 2011, tebentuklah JKT48 yang merupakan sister-group pertama AKB48.
Di awal kemunculannya, JKT48 sudah mampu menyerap banyak penggemar karena pada dasarnya musik pop Jepang (J-pop) di Indonesia memang sudah banyak disukai sejak lama.
"Dari dulu saya sudah suka sama AKB48. Jadi begitu ada JKT48 yang konsepnya sama tapi lebih dekat karena posisinya di Indonesia, saya langsung suka," ujar pemuda yang enggan disebutkan namanya kepada Kompas Health di Jakarta.
Menurut pengakuannya, dia sudah jatuh cinta pada musik Jepang sejak delapan tahun yang lalu. Konsep idol group di Indonesia memang terbilang masih baru. Karena itu, banyak yang "salah" mengartikannya sebagai girl band. Kendati demikian, tujuan keduanya sama, yaitu untuk menghibur penonton dan akhirnya menciptakan penggemar.
Wajar atau berlebihan?
Menggemari idol group bukan merupakan hal yang negatif selama bisa bermanfaat bagi pengembangan diri terutama pada remaja. Beberapa psikolog menyampaikan pandangannya kepada Kompas Health mengenai kegiatan menggemari idola ini.
Menurut psikolog keluarga, Roslina Verauli, kegiatan menggemari bisa dikatakan upaya untuk mencari jati diri. Kegiatan ini kalau bisa memberikan dampak positif pada pengembangan diri artinya bersifat konstruktif.
Sementara psikolog dari LPT-UI, Indri Savitri, mengatakan, idola berfungsi berbeda pada remaja dan dewasa. Bagi remaja, idola bisa menjadi panutan atau contoh, sedangkan bagi dewasa idola merupakan penyalur hiburan atau rekreasi.
Vera melanjutkan, kendati suatu hal yang normal, pengidolaan sebetulnya tidak mengindikasikan kematangan emosi. Tokoh yang diidolakan sebetulnya merupakan ekspresi keinginan, salah satunya keinginan dari sisi fisik misalnya cantik, ganteng, atau keren.
Pengidolaan perlu diwaspadai jika mulai muncul perilaku berlebihan pada remaja. Misalnya menghabiskan waktu terlalu lama untuk menonton tokoh idola, hingga mengganggu kesehariannya. Tanda lainnya, jika remaja mulai bertransformasi dan mengadaptasi seluruh karakter dan sifat idola, tanpa berfikir kerugian bagi dirinya.