KOMPAS.com - Kasus pemerkosaan terbesar dalam sejarah Inggris yang dilakukan Warga Negara Indonesia Reynhard Sinaga menyebabkan trauma mendalam bagi para korbannya.
Berdasarkan laporan BBC, sebagian besar korban tidak bisa menerima kenyataan yang telah terjadi.
Bahkan, mereka merasa tak berguna dalam keluarga dan meninggalkan rumah. Kabar buruknya lagi, sebagian korban mengalami gangguan jiwa dan bahkan sampai berniat bunuh diri.
Segala bentuk kekerasan seksual memang menimbulkan trauma fisik dan psikologis bagi para korbannya.
Bahkan, trauma tersebut bisa tetap ada dan melekat dalam pikiran, tubuh, serta jiwa seseorang dalam berbagai cara meski peristiwa kekerasan tersebut telah lama terjadi.
Baca juga: Mengenal Trauma yang Mungkin Dialami Korban Perkosaan Reynhard Sinaga
Melansir Hello Sehat, trauma tersebut terjadi karena adanya energi yang terkuras untuk mengeluarkan reaksi kabur atau balik melawan yang merupakan naluri tak terkendalikan demi bertahan hidup.
Hal tersebut menyebabkan korban mengalami syok, disosiasi, dan berbagai jenis lain dari tanggapan bawah sadar sementara aksi kekerasan terjadi.
Lalu, bagaimana menangani trauma tersebut?
Menurut psikolog klinis Ratih Ibrahim, trauma yang dialami korban kekerasan seksual, seperti dalam peristiwa yang terjadi di Inggris tersebut adalah trauma serius.
Selain itu, penghayatan masing-masing korban terhadap trauma yang dialaminya juga tidak seragam. Sifatnya bisa sangat spesifik.
Menurut Ratih, cara untuk pulih adalah dengan menjalankan sesi konseling dan terapi yang intensif, teratur, disiplin dengan psikoterapis klinis, yang biasanya dilakukan oleh psikolog klinis atau psikiater.
"Sesi-sesi terapi yang dibutuhkan bisa berlangsung panjang, sampai yang bersangkutan mampu membangun kekuatannya untuk memulihkan diri," ucapnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (8/1/2020).
Ratih juga mengatakan, dukungan keluarga dan lingkungan sekitar sangat penting untuk membantu korban agar lekas bangkit dari trauma.
"Berdoa juga merupakan cara yang membantu bersamaan dengan psikoterapi," tambahnya.
Baik pria atau wanita, menurut Ratih, akan mengalami trauma yang sama ketika mengalami peristiwa mengerikan tersebut.