KOMPAS.com - Target penurunan angkat stunting di Indonesia menghadapi sejumlah kendala, salah satunya adalah pengetahuan masyarakat yang masih rendah akan dampak stunting pada kesehatan anak.
Hal itu antara lain terungkap dari survei yang dilakukan Health Collaborative Center (HCC) terhadap lebih dari 1.500 orang di beberapa kota di Indonesia.
Peneliti utama dan Chairman HCC Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK mengatakan, mayoritas responden tidak setuju stunting disebabkan oleh faktor gizi dan berkaitan dengan ketidakmampuan membeli pangan sumber gizi.
"Selain itu stunting juga tidak dianggap sebagai kondisi medis serius dan yakin stunting tidak memengaruhi kondisi keluarga," kata Ray dalam acara konferensi pers di Jakarta (13/12/2022).
Walau demikian, upaya pemerintah untuk mengencarkan edukasi terkait stunting mulai terlihat. Terbukti 95 persen responden mengatakan mengetahui stunting dan percaya kondisi gizi buruk kronik ini terjadi di Indonesia.
Di lain pihak, masih banyak responden yang tidak percaya stunting menghambat perkembangan otak anak dan stunting dianggap tidak berhubungan dengan pola asuh orang tua.
Menanggapi studi ini, Prof.dr. Nila Moeloek Sp.M menyebut bahwa pengetahuan dan pemaknaan masyarakat adalah kunci keberhasilan invtervensi stunting.
"Peningkatan pengetahuan kesehatan terutama terkait stunting perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan semua pihak, agar target 14 persen penurunan stunting dapat tercapai," kata Nila.
Dia menambahkan, kepercayaan masyarakat terhadap stunting dapat menjadi peluang baik bagi pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku yang tepat pada pencegahan stunting.
Baca juga: Kepala BKKBN: Stunting pada Anak Tidak Genetik, tapi karena Salah Urus
Terkait penurunan angka stunting, HCC dalam rekomendasinya menyebutkan pentingnya program edukasi stunting yang melibatkan kedua orangtua (bukan ibu saja), menjadikan bidan sebagai agen perubahan dalam edukasi gizi, hingga memastikan adanya layanan posyandu dan puskesmas yang dapat terakses oleh keluarga.
Salah satu peneliti, Bunga Pelangi MKM mengatakan, penelitian ini dapat mendeteksi potensi kesenjangan sumber informasi dan keakuratannya.
"Ini menjadi panduan bagi strategi edukasi tentang stunting agar lebih menyasar pengetahuan mendasar tentang stunting,” ungkapnya.
Penelitian yang menggunakan metode Health Belief Model ini dilakukan dengan melibatkan 1.676 responden dewasa yang berasal dari 31 provinsi. Sekitar 70 persen responden adalah perempuan dan sudah menikah serta menjadi ibu.
Baca juga: Pentingnya Memantau Berat Badan Anak untuk Deteksi Stunting
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.