Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setiap Tahun 210.000 Penderita Katarak Baru

Kompas.com - 15/01/2011, 11:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com- Wakil Presiden RI Boediono, Sabtu (15/1/2011), mencanangkan program penanggulangan buta katarak nasional di Rumah Sakit Mata Aini, Jakarta. Wapres yang hadir sekitar pukul 10.00 WIB langsung menuju auditorium RS Aini, dan disambut oleh Ketua Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Nila F Moeloek dan Direktur Rumah Sakit Aini Prof Doktor Farida Sirlan.

"Menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 1996, angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5 persen atau lebih dari dua juta orang buta atau tunanetra di Indonesia," kata Nila F Moeloek, Ketua Perdami dalam sambutannya.

Nila mengatakan, angka ini cukup tinggi di Asia. Sebagai perbandingan di Bangladesh angka kebutaan 1 persen, di India 0,7 persen, dan Thailand 0,3 persen. Dari survei ini, lanjut Nila, penyebab utama kebutaan di Indonesia adalah penyakit katarak (0,78 persen), disusul penyakit glaukoma (0,12 persen), kelainan refraksi (0,14 persen), dan penyakit lain terkait usia lanjut (0,38 persen).

Besarnya jumlah penderita katarak di Indonesia berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut pada tahun 2000 yang diperkirakan sebesar 15,3 juta (7,4 persen dari total penduduk).

Dikatakan Nila, masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penderita di daerah tropis. Sekitar 16 persen sampai 22 persen penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 56 tahun. Ada pula yang menyebutkan, 20 persen - 24 persen buta katarak diderita kelompok usia produktif.

"Insidensi katarak di Indonesia sendiri mencapai angka yang memprihatinkan, dimana setiap tahun muncul kasus-kasus baru katarak sebanyak 210.000 orang. Namun, yang bisa direhabilitasi dengan operasi katarak hanya lebih kurang 120.000orang per tahun," papar Nila.

Nila mengatakan hal ini menyebabkan timbulnya "cataract backlog", atau penumpukan penderita katarak yang cukup tinggi. "Tentunya ini tidak hanya menjadi masalah medis atau klinis, namun memasuki ranah sosial, menganggu produktivitas, kinerja dan mobilitas penderitanya, juga menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negara," jelasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau