KOMPAS.com -Tidak ada satu pun metode pengukuran berat bedan yang dapat menentukan sehat tidaknya tubuh. Bahkan sebagian ahli berpendapat, body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh yang kerap digunakan dalam berbagai penelitian pun ternyata tidak sepenuhnya akurat.
"Beberapa penelitian didasarkan pada BMI, padahal ukuran itu tidak akurat," kata profesor medis dari University of Pennsylvania, Philadelphia, Dr. Rexford Ahima. Selain tidak dapat menghitung banyaknya lemak, BMI juga tidak menerangkan penyebab buruknya kesehatan.
BMI adalah ukuran yang didapat dari berat badan dalam kilogram (kg) yang dibagi tinggi badan (meter persegi). Ukuran BMI 18,5-24,9 dikategorikan sebagai normal, 25-25,9 masuk kategori overweight, sedangkan lebih dari 30 berkategori obesitas. Orang dengan BMI lebih dari 30 menghadapi risiko terkena penyakit jantung, diabetes, kanker, dan penyakit lainnya.
Namun beberapa studi menyatakan, BMI yang tinggi justru dapat melindungi seseorang dari gagal jantung, ginjal, dan penyakit kronis lainnya. Ketika seseorang mengidap penyakit kronis, memiliki lemak berlebih menyediakan tambahan energi. Pada beberapa kasus, rendahnya BMI justru menyebabkan seseorang sakit.
BMI juga tidak mengindikasikan distribusi lemak tubuh. Lemak perut diketahui dapat meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung, dan kematian. Sedangkan lemak feriperal yang tersebar di seluruh tubuh, cenderung tidak berbahaya. BMI juga tidak bisa menghitung lebih spesifik perbedaan terkait ras, kelamin, dan usia yang berbeda.
Menurut Ahima, BMI kerap dipakai karena penggunaannya yang sederhana. Ukuran ini tidak berlaku untuk atlet, yang berat tubuhnya lebih karena otot. BMI juga tidak berlaku untuk orang tua yang kehilangan berat badan.
Ahima mengatakan, tidak ada satu metode ukuran yang dapat menggambarkan berat badan yang sehat. Hal ini bergantung pada berat badan, genetik, jenis kelamin, dan faktor lain. Obesitas sendiri adalah gangguan kompleks yang tidak hanya kelebihan lemak.
"Ada apa dengan obesitas yang menyebabkan seseorang sehat dan tidak sehat? Kita harus mengerti mekanismenya secara molekuler," kata Ahima.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.