Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/03/2014, 09:24 WIB
Unoviana Kartika

Penulis


KOMPAS.com -Disparitas di bidang kedokteran masih merupakan kendala aspek kesehatan di Indonesia. Minimnya akses ke daerah-daerah terpencil adalah hal yang hingga kini masih sulit untuk diatasi. Kondisi tersebut akhirnya menyebabkan tingginya angka kematian ibu (AKI) dan bayi di daerah yang tidak memiliki akses pelayanan kesehatan memadai.
 
Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan Chairul Radjab Nasution mengatakan, untuk menjawab tantangan tersebut, maka baik tenaga kesehatan, pemerintah, swasta, pasien ataupun pihak-pihak terkait lainnya perlu siap menghadapi "telemedicine" atau pengontrolan kesehatan jarak jauh.
 
"Telemedicine yang mencakup telekardiologi, tele-ultrasonografi, dan lain-lain merupakan hal yang memudahkan penyampaian informasi yang baik hingga ke semua daerah," ujarnya dalam konferensi pers program Mobile Obstetrical Monitoring (MoM) di Jakarta, Selasa (11/3/2014).
 
Menurut Chairul, telemedicine membutuhkan sistem yang baik dan melibatkan tim dokter spesialis. Khususnya untuk menekan AKI, tim juga membutuhkan bantuan tenaga kesehatan lain yang lebih dekat dengan masyarakat yaitu bidan.
 
AKI merupakan indikator penilaian dari kondisi pelayanan kesehatan di suatu negara. Di Indonesia AKI masih terbilang tinggi. Data WHO tahun 2010 menunjukkan AKI di Indonesia mencapai 228/100.000 kelahiran hidup. Sementara Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan, angkanya mencapai 359/100.000 kelahiran hidup.
 
Menurut dokter spesialis kebidanan dari RSIA Bunda Ivan Sini, kondisi tersebut salah satunya dipengaruhi oleh minimnya kesadaran pemeriksaan kehamilan teratur oleh ibu hamil. Dengan kata lain, calon ibu tidak mengetahui faktor risiko dari kehamilannya sehingga rentan mengalami komplikasi.
 
"Dengan mengaplikasikan teknologi, maka tenaga kesehatan dapat menentukan risiko komplikasi tanpa harus pasien datang ke tempat pelayanan kesehatan. Jadi tenaga kesehatan yang sudah mengetahui risiko pasien lah yang datang ke pasien," jelas Ivan.
 
Masih jauh dari target
 
Menurut Ivan, untuk mencapai sistem telemedicine yang baik maka diperlukan kolaborasi yang baik dari tenaga kesehatan, pihak pemerintah, swasta, dan pihak-pihak terkait lainnya. Kesiapan dari tenaga kesehatan menghadapi perkembangan teknologi sangat pesat harus bisa diimbagi oleh pemerintah dalam menciptakan payung hukum terhadapnya.
 
Di luar negeri, kata Ivan, semua pihak telah mendukung telemedicine. Pemerintah mengeluarkan miliaran dollar untuk infrastruktur yang mendukung sistem telemedicine.
 
Sementara itu, di Indonesia kondisinya masih jauh dari itu. Meskipun begitu, Ivan mengakui Indonesia sudah mulai memasuki era telemedicine. Terbukti dari mulai berjalannya sebuah proyek percontohan aplikasi pengontrolan risiko kehamilan di Padang sejak Desember 2013 lalu.
 
Hingga kini sekitar 500 ibu hamil telah diperiksa dan terdapat 60 lebih yang telah diidentifikasi memiliki kehamilan berisiko tinggi dalam tiga bulan pertama proyek tersebut berjalan.
 
Kendati demikian, Ivan mengatakan, masih banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi dari proyek percontohan tersebut. Antara lain masih kuatnya kepercayaan masyarakat pada tokoh penolong kelahiran non-medis hingga kendala sinyal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau