KOMPAS.com - Selama ini para ahli kesehatan terus memperingatkan kita akan bahaya lemak jenuh karena bisa meningkatkan risiko penyakit jantung. Pola makan yang dianggap sehat adalah yang paling sedikit kandungan lemak jenuhnya.
Namun, anggapan ini dipertanyakan oleh sebuah studi baru dalam jurnal Annals of Internal Medicine yang mengatakan, lemak jenuh bukanlah faktor gizi tunggal yang memicu penyakit jantung.
Anjuran untuk mengurangi makanan berlemak jenuh, misalnya keju, mentega, atau daging merah awalnya berasal dari sebuah penelitian asal University of Minnesota pada tahun 1950-an Studi tersebut dilakukan oleh Ancel Benjamin Keys.
Riset yang diadakan di 7 negara itu menyimpulkan bahwa lemak jenuh dapat meningkatkan kadar kolesterol sehingga meningkatkan risiko penyakit jantung. Sejak saat itu, dogma lemak jenuh menjadi penyebab penyakit jantung pun menyebar luas di seluruh dunia.
Namun kemudian, sejumlah kritik dilontarkan pada penelitian Keys tersebut. Kritik didasari oleh penyimpangan beberapa norma sains dasar yang dilakukan oleh Keys.
Salah satunya, penelitian yang dilakukan Keys tidak secara acak memilih negara yang dijadikan sasaran analisis, melainkan memilih negara-negara yang membuktikan hipotesisnya, yaitu Yugoslavia, Finlandia, dan Italia.
Sementara negara-negara yang dikenal paling banyak mengonsumsi lemak seperti Perancis, Swiss, Swrdia, dan Jerman Barat tidak diikutsertakan. Padahal di negara tersebut angka kejadian penyakit jantungnya relatif rendah.
Ada lagi studi lain yang mendukung lemak jenuh buruk untuk jantung, namun sekali lagi masih dipertanyakan. Studi itu menyatakan, penggunaan minyak berbasis sayuran, misalnya minyak kedelai atau jagung lebih baik daripada minyak hewani.
Sayangnya, studi tersebut tidak memasukkan faktor lain seperti merokok yang meningkatkan risiko penyakit jantung. Maka hasil studi itu pun belum bisa dipercaya sepenuhnya.
Salah satu konsekuensi akibat dogma bahaya lemak jenuh yang disoroti adalah orang kini memang mengurangi lemak tapi jadi lebih banyak mengonsumsi karbohidrat.
Paling tidak, peneliti mencatat sejak tahun 1970-an, ada peningkatan konsumsi karbohidrat rata-rata 25 persen. Sementara konsumsi lemak jenuh justru menurun 11 persen.
Dengan kata lain, daripada makan daging, telur, atau keju, orang kini lebih banyak makan pasta, biji-bijian, buah atau sayuran bertepung seperti kentang. Padahal konsumsi karbohidrat berlebih bukan hanya meningkatkan risiko obesitas saja, melainkan juga diabetes tipe 2 dan penyakit jantung.