Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penanganan Penyakit Terlalu Fokus pada Pengobatan

Kompas.com - 13/08/2014, 17:39 WIB

KOMPAS.com — Pemerintah dinilai terlalu menitikberatkan penanganan penyakit pada bagian hilir atau pengobatan yang menguras anggaran besar. Padahal, untuk penyakit yang bersumber dari binatang, penanganan sejak dari hulu atau sumber penularan hingga menyebarnya penyakit amat penting guna mencegah penularan.

Kepala Pusat Penelitian Zoonosis-Flu Burung Universitas Airlangga, Surabaya, yang juga anggota Komisi Nasional Penyakit New Emerging dan Reemerging (Pinere) Kementerian Kesehatan, Chairul A Nidom, menyatakan hal itu, Selasa (12/8), saat dihubungi dari Jakarta.

Menurut Chairul, 70 persen penyakit yang menginfeksi manusia berasal dari binatang, termasuk ebola. Di awal penularan, mikro-organisme penyebab penyakit beradaptasi dan mengambil dari tubuh manusia apa yang diperlukan demi bertahan hidup dan memperbanyak diri.

Saat pertama kali bertransmisi dari hewan ke manusia, tingkat keganasan penyakit biasanya amat tinggi. Sistem kekebalan dalam tubuh manusia belum mengenali mikro-organisme baru yang menyebabkan sakit. Hal itu mengakibatkan banyak korban jiwa. Dalam kondisi itu, segala upaya pengobatan ditempuh karena penyakit baru itu mengancam nyawa manusia sehingga pemerintah serius menangani.

Sementara itu pencegahan penularan di tengah interaksi manusia dengan satwa liar atau hewan peliharaan, yang kian terbuka, jarang diperhatikan. ”Saat ada wabah penyakit yang bersumber dari binatang, yang paling sibuk itu Kementerian Kesehatan yang punya bagian mengobati. Terkait interaksi manusia dengan hewan, upaya Kementerian Kehutanan atau Kementerian Pertanian bagaimana,” kata Chairul.

Jika pendekatan komprehensif dari hulu hingga hilir dalam penanganan epidemiologi penyakit belum dilakukan, lanjut Chairul, kita akan terus dikejutkan dengan kemunculan penyakit baru atau hadirnya penyakit lama yang bermutasi.

Maka dari itu, dokter manusia, dokter hewan, dan ahli lingkungan perlu duduk bersama. Hal itu untuk merencanakan bagaimana mengatasi ancaman penyakit dari binatang yang terus berkembang di masa depan.
Risiko meningkat

Guru Besar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Nasrin Kodim menyatakan, banyak hal memperbesar risiko zoonosis. Beberapa faktor risiko itu adalah sering kontak dengan hewan peliharaan, kontak kian terbuka dengan hewan liar, produksi hewan ternak intensif, rendahnya sanitasi peternakan, dan masih buruknya perilaku hidup bersih.

Secara terpisah, Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Slamet mengatakan, penanganan penyakit, terutama yang bersumber dari binatang, secara komprehensif dan terintegrasi menjadi tanggung jawab Komisi Nasional Zoonosis.

Menurut Slamet, Indonesia sebenarnya menjadi contoh bagi negara lain dalam merespons wabah penyakit. Pengalaman menangani wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) dan flu burung membuat Indonesia memiliki sistem yang mampu merespons dengan baik kemunculan wabah penyakit.

Sekitar 100 rumah sakit disiapkan sebagai tempat rujukan dengan fasilitas memadai. Adapun sistem komunikasi dan koordinasi antarlevel pimpinan serta panduan tata laksana penanganan penyakit yang dibuat dinilai sudah bagus.

Fasilitas, mekanisme, dan sistem penanganan itu yang diaktifkan kembali ketika muncul wabah penyakit yang perlu diwaspadai. Contohnya, saat muncul sindrom pernapasan Timur Tengah yang disebabkan virus korona (MERS CoV).

Slamet mengakui, hal itu adalah kondisi beberapa tahun lalu. Karena itu, perlu pengujian ulang semua fasilitas itu. Tenaga kesehatan yang dulu disiapkan perlu disegarkan kemampuannya.

Namun, penyegaran kemampuan tenaga medis dan pengecekan ulang alat medis belum dilakukan berkala karena kesibukan sehari-hari. Sistem kesiapsiagaan baru diaktifkan saat ada penyebaran penyakit. Petugas kesehatan di pelabuhan dan bandara bersama pihak terkait memantau kesehatan penumpang yang datang ke Tanah Air. (ADH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau