Faktanya, gangguan mental emosional berupa stres, kecemasan, dan depresi bukan monopoli masyarakat kota. Mereka yang tinggal di desa, kota kecil, hingga pulau terluar pun banyak yang mengalaminya.
”Masyarakat di kota besar stres karena menghadapi beban dan tuntutan kerja, sedangkan di kota kecil karena persoalan ekonomi, seperti kemiskinan atau sulitnya mencari kerja,” kata Direktur Bina Upaya Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Eka Viora di Jakarta, Rabu (20/5).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebutkan, 6 persen masyarakat Indonesia yang berumur lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Prevalensi tertinggi penderita gangguan di Sulawesi Tengah, sebesar 11,6 persen.
Namun, penderita gangguan mental emosional justru banyak terdapat di kota kecil dan daerah terluar, seperti Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, sebesar 37,1 persen dan Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, sebesar 22,3 persen. Warga kota dengan prevalensi cukup tinggi ada di Kota Bogor, Jawa Barat, sebesar 28,1 persen.
Mereka yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah orangtua, perempuan, berpendidikan dan berpenghasilan rendah, dan tinggal di kota.
Meski demikian, Riskesdas tidak menjelaskan penyebab stres dan depresi yang dialami masyarakat. Namun, Eka menilai faktor risiko pemicu munculnya gangguan mental emosional itu, baik di kota maupun desa, sama. Namun, persoalannya berbeda.
Stres muncul akibat adanya tekanan atau beban hidup. Stres menjadi kecemasan jika apa yang dikhawatirkan belum terjadi dan menjadi depresi jika ”bencana” yang ditakutkan sudah terjadi. Munculnya stres biasanya ditandai dengan gangguan tidur, mudah terkejut, cemas berlebihan, sulit berkonsentrasi, jantung berdebar, hingga gangguan fisik seperti sakit perut dan diare.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Danardi Sosrosumihardjo mengatakan, stres bisa menjadi cemas atau depresi sangat bergantung pada daya tahan seseorang menghadapi tekanan dan besarnya tekanan yang terjadi. Daya tahan itu dipengaruhi faktor genetika, pola asuh, kualitas gizi, kondisi lingkungan, hingga sistem pendidikan. ”Mau tinggal di mana saja kalau mekanisme pertahanan dirinya kurang kokoh, tetap akan mudah mengalami gangguan mental emosional,” katanya.
Turunkan produktivitas
Saat stres, seseorang tak akan bisa menjalankan fungsinya secara optimal. Kondisi itu membuat produktivitas mereka menurun hingga mengganggu kualitas kerja, hubungan keluarga, hingga mudah memicu konflik. Bahkan, penderita gangguan jiwa berat sering kali tidak produktif sama sekali.
”Penderita gangguan jiwa umumnya penduduk usia produktif,” kata Wakil Direktur Rumah Sakit (RS) Jiwa Ernaldi Bahar Palembang, Sumatera Selatan, Vita Prashanty. Kota Palembang termasuk salah satu kota besar dengan kasus gangguan mental emosional tinggi.
Kerugian ekonomi yang hilang akibat gangguan jiwa, berupa hilangnya produktivitas, beban ekonomi dan biaya kesehatan yang harus ditanggung keluarga dan negara, diperkirakan lebih dari Rp 20 triliun setahun.
Meski nilai kerugiannya besar, lanjut Danardi, persoalan kesehatan jiwa masih diremehkan. Stres dianggap bisa berlalu seiring berjalannya waktu. ”Mengobrol atau mengungkapkan isi hati kepada keluarga atau sahabat adalah cara terbaik melepaskan stres tanpa bantuan psikiater atau psikolog,” ujarnya.
Meskipun terkadang tidak memberi solusi, ekspresi untuk melepas beban yang dihadapi merupakan satu langkah maju meredakan tekanan. Namun, mencurahkan isi hati melalui media sosial bukan pilihan tepat karena sering kali justru memunculkan masalah baru.