Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/05/2015, 15:19 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Tekanan ekonomi, beban pekerjaan, tata kota yang buruk, hingga penyakit kronis yang diderita membuat masyarakat stres. Padahal, stres bisa memengaruhi produktivitas, meningkatkan keparahan penyakit, hingga memunculkan gangguan sosial. Namun, persoalan mental emosional itu masih disepelekan.

Faktanya, gangguan mental emosional berupa stres, kecemasan, dan depresi bukan monopoli masyarakat kota. Mereka yang tinggal di desa, kota kecil, hingga pulau terluar pun banyak yang mengalaminya.

”Masyarakat di kota besar stres karena menghadapi beban dan tuntutan kerja, sedangkan di kota kecil karena persoalan ekonomi, seperti kemiskinan atau sulitnya mencari kerja,” kata Direktur Bina Upaya Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Eka Viora di Jakarta, Rabu (20/5).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebutkan, 6 persen masyarakat Indonesia yang berumur lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Prevalensi tertinggi penderita gangguan di Sulawesi Tengah, sebesar 11,6 persen.

Namun, penderita gangguan mental emosional justru banyak terdapat di kota kecil dan daerah terluar, seperti Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, sebesar 37,1 persen dan Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, sebesar 22,3 persen. Warga kota dengan prevalensi cukup tinggi ada di Kota Bogor, Jawa Barat, sebesar 28,1 persen.

Mereka yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah orangtua, perempuan, berpendidikan dan berpenghasilan rendah, dan tinggal di kota.

Meski demikian, Riskesdas tidak menjelaskan penyebab stres dan depresi yang dialami masyarakat. Namun, Eka menilai faktor risiko pemicu munculnya gangguan mental emosional itu, baik di kota maupun desa, sama. Namun, persoalannya berbeda.

Stres muncul akibat adanya tekanan atau beban hidup. Stres menjadi kecemasan jika apa yang dikhawatirkan belum terjadi dan menjadi depresi jika ”bencana” yang ditakutkan sudah terjadi. Munculnya stres biasanya ditandai dengan gangguan tidur, mudah terkejut, cemas berlebihan, sulit berkonsentrasi, jantung berdebar, hingga gangguan fisik seperti sakit perut dan diare.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Danardi Sosrosumihardjo mengatakan, stres bisa menjadi cemas atau depresi sangat bergantung pada daya tahan seseorang menghadapi tekanan dan besarnya tekanan yang terjadi. Daya tahan itu dipengaruhi faktor genetika, pola asuh, kualitas gizi, kondisi lingkungan, hingga sistem pendidikan. ”Mau tinggal di mana saja kalau mekanisme pertahanan dirinya kurang kokoh, tetap akan mudah mengalami gangguan mental emosional,” katanya.

Turunkan produktivitas

Saat stres, seseorang tak akan bisa menjalankan fungsinya secara optimal. Kondisi itu membuat produktivitas mereka menurun hingga mengganggu kualitas kerja, hubungan keluarga, hingga mudah memicu konflik. Bahkan, penderita gangguan jiwa berat sering kali tidak produktif sama sekali.

”Penderita gangguan jiwa umumnya penduduk usia produktif,” kata Wakil Direktur Rumah Sakit (RS) Jiwa Ernaldi Bahar Palembang, Sumatera Selatan, Vita Prashanty. Kota Palembang termasuk salah satu kota besar dengan kasus gangguan mental emosional tinggi.

Kerugian ekonomi yang hilang akibat gangguan jiwa, berupa hilangnya produktivitas, beban ekonomi dan biaya kesehatan yang harus ditanggung keluarga dan negara, diperkirakan lebih dari Rp 20 triliun setahun.

Meski nilai kerugiannya besar, lanjut Danardi, persoalan kesehatan jiwa masih diremehkan. Stres dianggap bisa berlalu seiring berjalannya waktu. ”Mengobrol atau mengungkapkan isi hati kepada keluarga atau sahabat adalah cara terbaik melepaskan stres tanpa bantuan psikiater atau psikolog,” ujarnya.

Meskipun terkadang tidak memberi solusi, ekspresi untuk melepas beban yang dihadapi merupakan satu langkah maju meredakan tekanan. Namun, mencurahkan isi hati melalui media sosial bukan pilihan tepat karena sering kali justru memunculkan masalah baru.

”Tatap muka, reaksi lawan bicara dan sentuhan fisik saat mencurahkan isi hati tak bisa didapat melalui media sosial,” katanya.

Selain itu, tata kota yang didukung sistem regulasi yang baik juga bisa menjadi pelepas stres masyarakat secara murah dan mudah. Dengan demikian, meski tekanan pemicu stres datang tiap hari, beban yang ada bisa dilepaskan secara teratur.

Namun, tata kota di Indonesia umumnya jauh dari kondisi itu. ”Terbatasnya ruang publik, macet, atau baliho raksasa yang dipasang sembarangan justru meningkatkan stres masyarakat,” kata peneliti pada Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Agustinus bertengger di ketinggian menara SUTET di Jalan Jendral Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Kamis (31/1/2013). Aksi nekat itu untuk menuntut dipertemukan dengan anggota DPR dan Komnas HAM.

Penyakit kronis

Guru Besar Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor Ali Khomsan mengatakan, stres berdampak pada inefisiensi gizi. Ekspresi yang sering muncul pada seseorang yang mengalami stres adalah makan berlebih dan malas beraktivitas. ”Orang yang mengalami tekanan mental cenderung mengabaikan pola makan dan pola hidup sehat,” katanya.

Kondisi itu membuat kekebalan tubuh seseorang menurun hingga rentan menderita berbagai jenis penyakit, seperti gangguan lambung dan flu yang tak kunjung sembuh. Jika berlangsung dalam waktu lama, keadaan itu bisa memunculkan berbagai penyakit tidak menular yang kronis, butuh pengobatan lama dan mahal, seperti jantung, stroke, dan diabetes.

Sebaliknya, seseorang yang menderita penyakit tidak menular yang umumnya kronis itu juga rentan mengalami stres yang bisa memperparah penyakitnya. Stres itu bisa dipicu oleh pengobatan yang lama, keharusan mengubah perilaku agar sehat, dan hilangnya motivasi diri hingga sulit berperilaku sehat.

”Sekitar 30 persen penderita penyakit tidak menular mengalami depresi,” kata Eka.

Pengobatan

Meski persoalan kesehatan jiwa makin meluas, fasilitas dan sumber daya layanan kesehatan jiwa sangat terbatas. Dengan lebih dari 250 juta penduduk, saat ini Indonesia baru memiliki sekitar 830 psikiater dan 400-an psikolog klinis. Dari 2.083 rumah sakit pada Maret 2013, hanya ada 32 RS jiwa pemerintah dan 16 RS jiwa swasta.

Selain jumlahnya terbatas, layanan kesehatan jiwa itu juga belum tersebar merata. PDSKJI menargetkan, ke depan, semua RS tipe B memiliki psikiater. Penempatan psikiater tak lagi di RS khusus jiwa itu diharapkan akan mempermudah masyarakat mengakses layanan kesehatan jiwa, tanpa takut adanya stigma buruk dari masyarakat.

Sementara itu, untuk mengatasi keterbatasan tenaga, Kementerian Kesehatan akan memperkuat layanan kesehatan jiwa di puskesmas dan klinik. Dokter umum pada fasilitas kesehatan primer akan dibekali kemampuan untuk mendiagnosis dan menangani gejala awal depresi. Kemampuan itu diharapkan dapat mendeteksi, bukan hanya gangguan kesehatan jiwa umum, melainkan juga depresi pada penderita penyakit kronis. (IRE/BRO/ADH/MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com