Hal tersebut disampaikan Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany saat berkunjung ke redaksi harian Kompas, di Jakarta, Rabu (27/5).
Konsumsi rokok di Indonesia terus naik. Ironisnya, sebagian besar rokok dikonsumsi kelompok usia 19 tahun ke bawah. "Anak muda menjadi sasaran pemasaran industri rokok," ujar Hasbullah.
Hasbullah menyebutkan, angka usia pertama kali merokok penduduk kelompok umur 15-19 tahun 33,1 persen pada 2007, naik menjadi 43,3 persen tahun 2010. Begitu juga kelompok usia 10-14 tahun di periode sama, dari 10,3 persen menjadi 17,5 persen.
Hal yang mengkhawatirkan ialah kemunculan perokok di kelompok usia 4-9 tahun yang pada 2007 ada 1,2 persen, naik menjadi 1,7 persen tahun 2010.
"Industri rokok menjadikan anak muda sebagai target karena ini adalah investasi jangka panjang. Ketika anak muda loyal, sulit untuk berhenti," kata CEO Indonesia Medika Gamal Albinsaid pada Forum Pemuda The 2nd Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2015, kemarin.
Adapun Riset Kesehatan Dasar menunjukkan tak ada penurunan prevalensi merokok penduduk berusia 15 tahun ke atas dari 2007 ke 2013. Prevalensi merokok justru naik dari 34,2 persen menjadi 36,3 persen. Selain itu, ditemukan 1,4 persen perokok berusia 10-14 tahun.
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Anak dari Zat Adiktif Nina Mutmainnah Armando menyatakan, pemerintah belum mampu melindungi anak-anak dari "serangan" industri rokok. Pemerintah justru membiarkan dan malah menikmati keuntungan dari industri rokok.
Iklan rokok
Mengutip data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2009, di Indonesia lebih dari 80 persen anak usia 13-15 tahun terpapar iklan rokok di televisi, iklan luar ruang, koran, dan majalah. "Makin dini anak merokok, kian besar keuntungan bagi industri rokok. Anak-anak adalah basis konsumen jangka panjang," kata dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia tersebut.
Meski iklan rokok dibatasi, iklan produk tembakau itu muncul dalam bentuk lain. Contohnya, industri rokok menjadi sponsor kegiatan anak muda, seperti festival musik, olahraga, budaya, dan aksi sosial. "Saya heran, olahraga yang bertujuan untuk kesehatan malah sponsor utamanya ialah perusahaan rokok," ujarnya.
Industri rokok dinilai mengeksploitasi anak muda Indonesia demi meraup laba. Iklan rokok ditampilkan menarik agar masuk alam bawah sadar dan membentuk pola pikir anak muda.
Eko Prasetyo, penulis buku Jangan Tanya Mengapa Perusahaan Rokok Untung Besar, mengatakan, pendapatan negara dari industri rokok amat besar. Setahun, pendapatan negara dari cukai rokok Rp 141,7 triliun. Itu membuat pemerintah kalah dari industri rokok.
Pemerintah dinilai tak kreatif dan takut kehilangan pendapatan dari rokok. Padahal, biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membiayai pengobatan penyakit terkait rokok tinggi. "Kekayaan industri rokok mengalahkan kekuasaan pemerintah," kata Eko.
Menurut Hasbullah, cara paling efektif mengontrol konsumsi rokok ialah menggunakan instrumen fiskal. Itu bisa dilakukan dengan menaikkan harga rokok dan merevisi aturan cukai rokok yang membatasi cukai maksimal 57 persen. "Jadikan besaran cukai saat ini bukan sebagai batas maksimal, melainkan minimal. Selain itu, naikkan harga rokok hingga dua kali menjadi sekitar Rp 30.000 per bungkus," ujarnya.
Hasbullah berkeyakinan, kenaikan harga rokok akan menurunkan konsumsi rokok karena mayoritas perokok berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Harga rokok yang lebih mahal juga diharapkan bisa mengerem kemunculan perokok pemula di kalangan remaja dan anak-anak. (ADH/MZW/B04)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.