"Pada tahun 2013 pengeluaran warga untuk membeli rokok mencapai Rp 96 miliar. Padahal pendapatan asli daerah hanya 196 miliar. Di Kulon Progo angka kemiskinan masih sekitar 21 persen tapi jumlah perokoknya banyak," kata Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo, dalam temu media mengenai Pengendalian Tembakau yang difasilitasi oleh Kementrian Kesehatan di Yogyakarta, Kamis (21/5/15).
Hasto mengatakan, tak mudah mengajak masyarakat dengan kemampuan ekonomi rendah untuk berhenti merokok. "Mereka berkilah hanya merasa bahagia saat merokok, tidak punya apa-apa lagi untuk merasa bahagia," katanya.
Merokok juga masih dianggap sebagai budaya warisan, bukan sebagai masalah kecanduan. "Rokok sebenarnya seperti lintah darat yang menyedot dana masyarakat," ujar dia.
Untuk mengendalikan konsumsi rokok di daerahnya, pemerintah kabupaten Kulon Progo membuat Peraturan Daerah No.5 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Dalam Perda tersebut antara lain diatur tentang larangan iklan rokok di media luar ruang (baliho atau spanduk) yang dipasang di jalan-jalan utama di Kulon Progo. Selain itu sponsorship acara dari perusahaan rokok juga tidak diperbolehkan.
"Kami menyadari Perda ini tidak populer, tapi sangat esensial bagi kesehatan masyarakat," kata Hasto yang juga seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan ini.
Sampai saat ini Pemda Kulon Progo juga masih terus melakukan pendekatan dan sosialisasi ke berbagai lapisan masyarakat. "Hambatan selalu ada, salah satunya adalah mengubah habit masyarakat karena rokok adalah sesuatu yang adiktif. Selain itu Perda ini juga kerap dipolitisir," ujarnya.
Menurut Ekowati Raharjeng, Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, penerapan KTR yang konsisten diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, terutama terkendalinya fakor risiko penyakit mematikan yang disebabkan oleh rokok.
"Hampir 80 persen penyebab penyakit tidak menular disebabkan oleh perilaku, yang terbanyak adalah kebiasaan merokok," katanya.