Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/07/2015, 13:15 WIB


KOMPAS.com
- Status gizi pendek atau stunting pada anak balita bisa terjadi lintas generasi. Dengan kata lain, ibu yang pendek dan berstatus gizi jelek berpeluang melahirkan bayi yang pendek juga. Oleh karena itu, intervensi gizi pada remaja perempuan dan ibu hamil perlu dilakukan dengan lebih baik lagi.

Demikian disampaikan peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Trihono, Kamis (9/7), di Jakarta. Trihono mengatakan, selain pertambahan berat badan selama hamil yang kurang dari standar dan asupan gizi di bawah angka kecukupan gizi, faktor determinan lain terjadinya bayi pendek ialah tinggi badan ibu yang kurang dari 150 sentimeter dan indeks massa tubuh (IMT) ibu hamil kurang dari 18,5 kg/m2.

"Ada banyak data tentang status gizi pendek pada bayi, anak balita, dan anak yang bisa dipakai untuk merumuskan kebijakan oleh pemerintah. Dari data yang ada, kita bisa melihat ternyata status gizi pendek bisa lintas generasi. Perlu penanganan komprehensif semua pihak untuk memutusnya," ujar Trihono.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan, kelompok anak pendek pada umumnya lahir dari ibu yang rata-rata tinggi badannya lebih pendek (150,7 sentimeter) ketimbang ibu dengan rata-rata tinggi badan normal (152,4 sentimeter). Kelompok ibu yang pendek (tinggi di bawah 150 sentimeter) cenderung melahirkan bayi pendek lebih banyak (47,2 persen) dibandingkan dengan kelompok ibu dengan tinggi normal (36 persen).

Ibu yang pendek dan IMT-nya buruk sangat terkait dengan status gizi ibu tersebut. Ibu hamil yang status gizinya buruk berpeluang melahirkan bayi dengan berat rendah (di bawah 2.500 gram) dan panjang kurang dari 48 sentimeter. Riskesdas 2013 menunjukkan, prevalensi pendek pada bayi baru lahir dengan panjang kurang dari 48 sentimeter 20,2 persen.

Oleh karena itu, Trihono menyarankan, untuk menurunkan prevalensi anak pendek, perlu pendekatan siklus kehidupan sebab kondisi calon ibu sejak remaja hingga status gizinya saat hamil akan sangat memengaruhi bayi yang dilahirkannya. Program yang bisa dilakukan pemerintah dan sektor swasta ialah pemberian makanan tambahan tinggi kalori protein dan mikronutrien bagi semua ibu hamil karena pada umumnya konsumsi ibu hamil tidak memenuhi angka kecukupan gizi, pemberian makanan tambahan dan mikronutrien bagi anak balita, serta pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI.

Trihono menyebutkan, selain faktor determinan di atas, faktor lain, seperti pendidikan dan status ekonomi, juga berpengaruh pada status gizi pendek. Semakin tinggi pendidikan dan semakin sejahtera keluarga, prevalensi pendek kian kecil.

Ketua Pembina Sentra Laktasi Indonesia Utami Roesli menekankan pentingnya pemberian ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI pada 1.000 hari pertama kehidupan anak. ASI adalah makanan terbaik untuk bayi yang tidak dapat tergantikan. Pemberian ASI eksklusif dapat membuat bayi terhindar dari gangguan tumbuh kembang, obesitas, marasmus, kwashiorkor, juga marasmus-kwashiorkor.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau