Meski demikian, penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan telah memicu mikroorganisme menjadi kebal obat.
Bakteri kebal antibiotik, misalnya methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin-resistant Enterococcus species (VRE) dan carbapenem-resistant Enterobacteriaceace (CRE), saat ini makin sering ditemukan.
Spesies CRE bahkan telah kebal pada beberapa jenis antibiotik dan dianggap sebagai "superbug".
Para dokter telah menggunakan terapi alternatif untuk mengatasi infeksi sejak zaman dahulu kala, tetapi tak ada satu pun yang seaman dan seefektif antimikroba modern.
Mengingat banyaknya mikroba yang makin resisten dan juga tidak adanya pengembangan obat-obatan baru, bukan tak mungkin kita akan kembali ke era di mana antibiotik belum ada.
Apa saja pengobatan yang dipakai dokter kuno di awal abad 20 untuk mengatasi infeksi?
Darah, lintah dan pisau
Bloodletting atau terapi bekam sudah digunakan sebagai terapi medis selama lebih dari 3000 tahun. Pengobatan ini berasal dari Mesir pada tahun 1000 SM dan digunakan sampai pertengahan abad 20.
Dari berbagai catatan kuno, disebutkan terapi ini direkomendasikan untuk berbagai kondisi, tetapi terutama untuk infeksi.
Bekam didasarkan pada teori medis kuno yang menekankan bahwa empat cairan tubuh manusia, yaitu darah, dahak, empedu hitam dan empedu kuning, harus tetap seimbang demi menjaga kesehatan.
Infeksi disebutkan terjadi karena kelebihan darah sehingga darah harus dihulangkan dari pasien. Salah satu metodenya adalah dengan membuat sayatan di bagian vena atau arteri.
Cara lainnya dengan cupping, yakni menggunakan cangkir kaca yang dipanaskan dan ditempatkan di kulit, membuat ruang hampa, menghancurkan pembuluh darah kecil dan menghasilkan pendarahan besar di bawah kulit. Lintah juga dipakai sebagai variasi bekam.
Yang menarik, meski bekam direkomendasikan oleh dokter, praktik ini juga dilakukan oleh "tukang cukur" atau "tukang cukur-ahli bedah".
Mungkin ada beberapa manfaat dari praktik ini, setidaknya pada beberapa jenis bakteri di tahap awal infeksi.
Banyak bakteri yang butuh zat besi untuk berkembang biak, dan zat besi dibawa oleh heme, komponen sel darah merah. Teorinya, sel darah merah yang lebih sedikit akan membuat zat besi sedikit sehingga infeksi bakteri tak memburuk.
Merkuri untuk mengobati sifilis
Unsur kimia alami dan senyawa kimia sejak lama digunakan untuk mengobati berbagai infeksi, terutama untuk luka dan sifilis.
Yodium topikal, bromin dan senyawa yang mengandung merkuri telah digunakan untuk mengobati luka yang terinfeksi dan gangren selama perang saudara Amerika.
Dari bahan kimia tersebut, bromin adalah yang paling sering digunakan, walau menyebabkan rasa sakit hebat bila disuntikkan ke luka dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
Pengobatan tersebut dapat menghambat replikasi sel bakteri tetapi sekaligus dapat membahayakan sel-sel manusia normal.
Senyawa merkuri telah dipakai untuk mengobati sifilis sekitar tahun 1363 sampai 1910. Penggunaannya dengan diminum atau disuntikkan. Tetapi ini mempunyai efek samping, yaitu kerusakan pada kulit dan membran mukosa, ginjal dan kerusakan otak dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Akhirnya, pada tahun 1943 pengobatan ini digantikan oleh penisilin yang menjadi terapi lini pertama untuk semua penyakit sifilis.