JAKARTA, KOMPAS — Rumah sakit umum daerah, terutama yang ada di daerah dengan kemampuan fiskal terbatas, sulit meningkatkan mutu layanannya. Fungsi manajerial direksi rumah sakit daerah harus diperkuat agar layanan tetap berkualitas dan pengelolaan keuangan efisien.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia Heru Aryadi, Senin (18/4), di Jakarta, setiap rumah sakit daerah sudah berupaya agar bisa memberikan layanan bermutu. Namun, kondisi setiap RS daerah berbeda, bergantung pada kemampuan keuangan daerah dan kepedulian pemimpin daerah.
Rumah sakit di daerah dengan kemampuan fiskal terbatas kerap kesulitan meningkatkan mutu layanan. Apalagi jika pemimpin daerahnya tak perhatian pada isu kesehatan.
”Ada biaya yang harus dikeluarkan untuk meningkatkan mutu layanan. Rumah sakit yang daerahnya punya kemampuan fiskal dan pemimpin daerahnya peduli, tak khawatir defisit. Mereka tinggal melayani warga dengan baik,” kata Heru.
Meski demikian, kini banyak pemimpin daerah peduli mutu layanan kesehatan di RS. Isu kesehatan jadi salah satu isu kampanye pemilihan kepala daerah.
Selama ini, 60-80 persen pasien yang berobat di RS daerah adalah peserta Jaminan Kesehatan Nasional.
Menurut Heru, tingkat kecukupan klaim biaya kesehatan RS dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan amat relatif karena kondisi setiap RS berbeda. Untuk itu, peran manajemen RS untuk memberikan layanan bermutu yang efisien jadi amat penting.
Rujukan berjenjang
Menurut Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Layanan Akmal Taher, untuk meningkatkan mutu layanan fasilitas kesehatan, Kemenkes membuat sistem rujukan berjenjang dan menguatkan fasilitas kesehatan primer.
Selain itu, jaminan kualitas diberikan melalui standar akreditasi untuk fasilitas kesehatan primer atau RS. Pihak Kemenkes menargetkan, di setiap kecamatan, minimal ada satu puskesmas terakreditasi. ”Kini baru ada 100 puskesmas terakreditasi. Untuk rumah sakit, ditargetkan satu kabupaten ada satu rumah sakit terakreditasi,” ujarnya.
Heru menambahkan, agar RS daerah bisa meningkatkan mutu layanannya, tarif RS dalam Indonesia-Case Based Group (INA-CBG) seharusnya lebih banyak yang mendekati nilai keekonomian dengan mempertimbangkan variasi kondisi daerah. ”Tarif mendekati titik impas juga sudah bagus,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Kuntjoro berharap penyesuaian tarif RS tahun ini memenuhi aspek keadilan. Tarif RS swasta dan pemerintah serta tarif antarregional seharusnya dibedakan. Untuk itu, RS swasta diharapkan memberi data biaya kesehatan sebagai bahan penghitungan dan penetapan tarif RS.
Sejumlah RS mengeluhkan rendahnya tarif layanan. Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo C Heriawan Soejono menyatakan, setiap bulan, RSCM menerima pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan Rp 75 miliar-Rp 80 miliar. Pada 2015, pembayaran JKN hanya mencakup 72 persen. ”Kekurangan dana dari APBN,” katanya.
Direktur Utama Rumah Sakit Islam Cempaka Putih Prastowo Sidi Pramono berharap tarif layanan RS sesuai biaya layanan. Contohnya, klaim biaya terapi usus buntu RS tipe A lebih besar 30-40 persen ketimbang RS tipe B, apalagi tipe C, sehingga banyak RS tipe C merujuk pasien ke RS tipe A karena tekor.