KOMPAS.com - Tambahan zat aditif dalam makanan olahan dinilai dapat mengganggu kinerja bakteri baik pada usus, menyebabkan perubahan yang meningkatkan risiko peradangan usus dan berpotensi mengembangkan beberapa penyakit kronis, ungkap sebuah studi.
Dalam studi tersebut, peneliti melihat bahan-bahan aditif yang disebut pengemulsi, yang ditambahkan ke banyak makanan olahan, termasuk es krim dan selai kacang, untuk memperbaiki tekstur makanan dan memperpanjang umur makanan.
Para peneliti menggunakan peralatan lab sebagai simulasi usus manusia, termasuk bakteri yang ada pada usus, dalam bentuk serangkaian pompa dan wadah kaca.
Para ilmuwan menambahkan dua pengemulsi yang disebut karboksimetilselulosa (CMC) dan polisorbat-80 (P80), untuk simulasi isi usus normal.
Saat pengemulsi masuk ke simulasi usus buatan, zat tersebut menyebabkan peningkatan dramatis risiko peradangan usus, kata penulis studi Benoit Chassaing, asisten profesor ilmu biomedis di Georgia State University. Chassaing menyajikan studi ini dalam Digestive Disease Week, pertemuan ilmiah yang berfokus pada penyakit pencernaan.
Para peneliti kemudian mengambil bakteri usus yang berubah akibat pengemulsi untuk dimasukkan ke dalam tikus yang tidak memiliki bakteri usus.
Tikus-tikus ini juga mengembangkan peradangan usus dan menunjukkan tanda-tanda sindrom metabolik, yaitu kondisi yang mencakup obesitas, gula darah tinggi dan resistensi insulin.
Studi ini menunjukkan bahwa pengemulsi langsung mempengaruhi bakteri usus, kata Chassaing. Namun, para peneliti masih perlu menguji apakah pengemulsi memiliki efek yang sama cepatnya pada manusia, dan para peneliti sudah merencanakan studi lebih lanjut.
Temuan baru ini menambah bukti, bahwa pengemulsi bisa memicu perkembangan penyakit radang usus (IBD).
Studi pada tahun 2013 juga pernah menemukan bahwa pengemulsi terkait dengan peradangan pada tikus normal namun, pada saat itu, para peneliti tidak tahu apakah pengemulsi langsung mempengaruhi bakteri pada usus.
Dalam studi mendatang pada manusia, para peneliti akan meminta responDen melakukan diet bebas pengemulsi selama satu bulan, dan kemudian beralih beberapa makanan dengan pengemulsi.
Para peneliti kemudian akan memeriksa apakah kedua kelompok menunjukkan perbedaan signifikan dalam peradangan usus.
Pengemulsi umumnya tercantum pada label bahan makanan olahan, tapi zat aditif lainnya kerap ditulis dengan nama yang berbeda, kata Chassaing.
Hal ini membuat konsumen sulit untuk menghindarinya hanya dengan membaca label makanan. Cara terbaik untuk menghindari pengemulsi adalah menghindari makanan olahan, katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.