KOMPAS.com – Pandemi Covid-19 yang belum kunjung habis di Indonesia sejak Maret 2020 terus memberikan duka mendalam.
Kementerian sosial mencatat, setidaknya 11.045 anak kehilangan orang tua karena Covid-19 per tanggal 8 Agustus 2021.
Salah satu anak yang orang tuanya berpulang setelah melawan pandemi adalah DN (12). DN kehilangan ayahnya pada akhir Juli lalu saat sedang isolasi mandiri di rumah.
DN yang kini tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya perlu waktu berminggu-minggu untuk bisa pulih dari keterpurukan atas dukanya.
Perlunya pendampingan psikologis
Pada saat itu, DN berharap ada sosok untuk bisa berbagi emosi serta duka yang dialami.
“(Saat itu) perlu pendampingan, butuh buat tempat cerita,” kata DN singkat.
Sayangnya, DN yang tinggal di Kota Salatiga sama sekali tidak mendapat bantuan pendampingan atau konseling sebagaimana harapannya.
DN dan keluarga bahkan tidak pernah mendengar layanan pendampingan psikologis untuk anak yang kehilangan orang tuanya akibat Covid-19.
“Sama sekali enggak pernah dengar dan enggak tahu,” ujarnya.
Dengan demikian, keluarga yang juga belum beres menghabiskan duka jadi satu-satunya support system bagi DN untuk melewati keterpurukan.
Melihat kasus DN, pendampingan psikologis atau konseling jadi hal yang diharapkan anak yang kehilangan orang tuanya karena pandemi.
Sebenarnya, pemerintah melalui Kementerian Sosial menyatakan komitmennya untuk melindungi anak kehilangan orang tua akibat Covid-19 melalui Program Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI).
Salah satu poin dalam program tersebut adalah memberikan konseling kepada anak-anak dan keluarganya.
Sayangnya, program tersebut belum menyentuh DN. Bahkan, DN dan keluarga tidak mengetahui perihal bantuan semacam itu.
Kondisi psikologis yang khas
Dr. Weny Savitry S. Pandia, M.Si., Psikolog, dosen magister psikologi Universitas Atma Jaya Jakarta mengatakan, anak yang kehilangan orang tua karena Covid-19 memiliki kondisi psikologis yang khas ketimbang rasa kehilangan pada umumnya.
Oleh karena itu, Wenny menekankan pendampingan psikologis yang tepat sebagai jalan keluar.
“Kehilangan pada situasi pandemi, ada kondisi yang khas sehingga lebih berat dan harus ada penanganan khusus,"kata Wenny saat diwawancarai pada Senin (30/8/2021).
"Perlu sekali ada yang mendampingi anak di awal, sehingga anak tidak hanya memendam perasaan dalam fase bingung. Ketika anak tidak ditangani dengan cepat, ini bisa tidak selesai, bisa jadi ada masalah trauma di masa mendatang dan efek samping lain,” sambungnya.
Lebih lanjut, Wenny memberi peringatan bahwa konseling atau pendampingan dimaksud mesti dilakukan oleh seseorang yang cakap dalam mendengar emosi anak.
“Namun, pendampingan ini diharapkan tepat, dilakukan oleh orang yang memang betul-betul kompeten untuk mendampingi anak, sehingga efek jangka panjang bagi anak tidak berkepanjangan atau parah,” lanjutnya.
Melalui orang terdekat
Mengingat masih ada anak yang tidak mendapat pendampingan psikologis terkait dukanya, menurut Wenny, orang terdekat bisa jadi garda terdepan untuk menjadi teman sang anak.
Sosok seperti guru, terutama guru bimbingan konseling (BK) menurutnya dapat dioptimalkan untuk pendampingan anak.
“Perlu orang dewasa terdekat selain keluarga, misalnya guru. Guru BK sebetulnya punya keterampilan untuk konseling dan bisa diberdayakan,” kata Wenny.
Selain guru, Wenny berharap adanya pemberdayaan pendampingan mulai dari ranah RT dan RW, tempat ibadah, swasta, serta sektor lainnya.
Menurutnya, pertolongan pertama jadi hal penting untuk anak.
“Selain dari sekolah juga bisa diberdayakan, selain dari sektor swasta, rumah ibadah, RT dan RW, pokoknya segala lini. Yang penting mereka membutuhkan pertolongan pertama dulu, agar tidak berlarut-larut,” tuturnya.
Kalimat yang tepat
Wenny mengingatkan, bagi orang terdekat yang ingin memberi pendampingan untuk menghindari kalimat destruktif yang justru memperparah kondisi anak.
“Ada orang dewasa lain mendampingi tapi caranya gak tepat, kayak “Kamu gak boleh nangis, nanti membebankan orang tua”. Justru nangis itu sebenarnya tidak apa-apa, itu bentuk meluapkan perasaan," kata Wenny.
"Atau “kamu laki-laki, kamu harus kuat”, itu malah enggak sehat dan cara yang salah. Justru anak harus mengeluarkan emosinya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Wenny menyarankan pendekatan yang mengedepankan empati dengan memvalidasi perasaan duka anak.
“Perlu bantuan bahwa mereka divalidasi perasannya bahwa mereka memang sedih, tidak nyaman, bingung, merasa kehilangan. Kasih tempat untuk dia bicara,” ujar Wenny.
Sebagai penutup, Wenny berpesan perlu penanganan yang tepat bagi psikologis anak, sebab jalan anak masih panjang untuk masa depannya.
“Kalau kita bicara apapun tentang anak, jalan anak itu masih panjang, sehingga perlu langkah kokoh dan ditangani dengan baik,” tutup Wenny.
https://health.kompas.com/read/2021/08/31/100000768/pentingnya-pendampingan-psikologis-anak-kehilangan-orang-tua-akibat-covid-19