KOMPAS.com - Tubuh memerlukan gula untuk mendapatkan energi, namun terlalu banyak asupan gula juga akan berbahaya untuk kesehatan.
Gula secara natural terkandung pada makanan atau minuman, dan bisa juga ditambahkan untuk membuat suatu makanan atau minuman menjadi semakin manis atau menjadi tahan lama.
Sayangnya, melansir HealthDirect, gula yang ditambahkan pada suatu makanan atau minuman bisa berbahaya untuk tubuh karena bisa menyebabkan beberapa penyakit, seperti obesitas, penyakit jantung, gigi berlubang, hingga penyakit hati berlemak.
Hal ini menjadi sorotan bagi Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan beberapa pakar lainnya berkaitan dengan konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).
Topik ini selanjutnya diangkat di dalam webinar yang diselenggarakan oleh CISDI pada 23 Agustus 2022 dengan mengambil judul Diskusi Publik: Masa Depan Pengendalian Minuman Berpemanis dalam Kemasan.
Webinar ini menghadirkan beberapa pembicara, seperti dr. Elvieda Sariwati, M.Epid selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PRM), Kementerian Kesehatan, Gita Kusnadi selaku Research Associate CISDI, David Colozza selaku Nutrition Specialist UNICEF, dan Citta Widagdo yang merupakan PhD Candidate Birmingham Law School.
MBDK mudah untuk diakses dan harganya murah
Konsumsi MBDK merupakan salah satu faktor yang menyebabkan obesitas di Indonesia.
David menjelaskan bahwa akses yang mudah dan harga yang murah membuat konsumsi makanan atau minuman yang tidak sehat di Indonesia meningkat.
Tidak hanya itu saja, pemasaran makanan dan minuman yang tidak sehat tersebut cukup marak sehingga bisa memancing minat pembeli.
David juga menyebutkan bahwa menurut survei yang dilakukan oleh UNICEF pada tahun 2020 menunjukkan bahwa sebagian besar dari 730 masyarakat Indonesia dengan pendapatan rendah mengonsumsi makanan atau minuman HFSS (High Fat Sugar Salt).
Data lain juga menunjukkan bahwa 4 dari 10 orang dewasa lebih sering mengonsumsi makanan kemasan dan makanan ringan.
Gita juga menambahkan bahwa hasil dari survei yang dilakukan oleh CISDI, responden mengatakan bahwa harga MBDK sangat terjangkau dan tersedia di toko yang terletak dekat dengan responden.
“Memang ternyata peningkatan konsumsi MBDK di Indonesia dalam dua dekade terakhir tuh sudah mencapai 15 kali lipat. Ternyata hal tersebut dibarengi atau disertai dengan adanya tren yang meningkat pada obesitas dan overweight,” tambah Gita.
Elvieda juga menyebutkan bahwa salah satu produk MBDK yang sangat diminati masyarakat merupakan produk minuman teh dalam kemasan yang dikemas secara menarik dan memiliki harga yang murah.
Tidak hanya itu saja, produk ini juga dikonsumsi oleh anak-anak di atas 3 tahun setiap harinya, setidaknya sekali sehari.
Regulasi Cukai MBDK di Indonesia masih lemah
Indonesia dikatakan cukup tertinggal dalam hal cukai MBDK.
Meskipun begitu, Citta menyebutkan bahwa sudah memiliki landasan hukum yang baik yang berkaitan dengan MBDK.
Permasalahannya adalah dalam pengimplementasian hukum tersebut dari pemerintah dan merupakan “problem” yang sama di beberapa negara sehingga masih banyak hal yang perlu ditingkatkan.
David juga menambahkan bahwa sebenarnya Indonesia sudah memiliki food labelling dalam beberapa produk sehingga merupakan permulaan yang baik (untuk MBDK).
Sayangnya, David menyebutkan bahwa food labelling hanya ditemukan di beberapa jenis produk makanan, seperti mie instan, sehingga jumlahnya perlu ditambah untuk membantu konsumen dalam mengetahui produk yang akan dibeli.
Implementasi kebijakan mengenai MBDK juga disebutkan oleh David sebagai proses yang panjang dan sulit sehingga tidak bisa diselesaikan hanya dalam 6 hingga 8 bulan.
Meskipun begitu, Kemenkes menyebutkan bahwa regulasi mengenai MBDK sudah digarap bersama dengan Kemenkeu sehingga harapannya bisa selesai di tahun ini dan diterapkan tahun depan.
https://health.kompas.com/read/2022/08/26/073000468/regulasi-minuman-berpemanis-di-indonesia-tertinggal-dari-negara-lain