TANGERANG, SABTU - Dalam beberapa dekade terakhir, riset penggunaan teknologi nano dalam diagnosis dan terapi kanker terus dikembangkan. Dengan teknologi ini, gen penghambat sel kanker dalam liposomal partikel nano dimasukkan langsung ke dalam sistem sirkulasi darah manusia.
Hal itu bertujuan agar sel kanker serta tumor dengan segala bentuk dan ukuran bisa langsung dihancurkan. Demikian diungkapkan Ester H Chang dari Lombardi Comprehensive Cancer Center Pusat Kedokteran Universitas Georgetown, Amerika Serikat, Sabtu (10/5) di Universitas Pelita Harapan (UPH), Karawaci, Tangerang.
Ester menyatakan, penggunaan teknologi nano ini bisa meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalisasi efek samping karena hanya menghancurkan jaringan tubuh yang terkena kanker dan tidak merusak jaringan sehat. Sejauh ini uji klinik penggunaan partikel nano dalam terapi kanker masih dilakukan untuk meneliti dosis yang tepat.
Direktur Bidang Hubungan Internasional Institut Kanker Nasional Amerika Serikat Joe B Harford menambahkan, potensi teknologi nano dalam pengobatan secara umum sudah terwujud. Sejauh ini penggunaan teknologi nano untuk pengobatan umum masih terbatas, tetapi banyak riset telah dilakukan. Pengembangan riset ini diperlukan untuk mengetahui tingkat keamanan dan efikasi pengobatan kanker dengan teknologi nano.
Teknologi nano ini perlu segera dikembangkan karena, "Pada sebagian pasien, sel-sel kanker resisten terhadap radiasi dan kemoterapi," kata Ester.
Penderita kanker umumnya menjalani pengobatan standar, yaitu terapi radiasi dan kemoterapi. Obat kemoterapi tak hanya menyerang sel kanker, tetapi juga sel sehat yang kemudian tumbuh cepat.
Saat ini banyak negara di dunia tengah mengembangkan teknologi ini, di antaranya Amerika Serikat, Jepang, Korea, dan beberapa negara di Eropa. National Nanotechnology Initiative Amerika Serikat, yang didirikan tahun 2000, pada tahun ini mengalokasikan anggaran lebih dari 1 miliar dollar AS. "Beberapa obat dengan teknologi nano sedang diuji klinik, dan ada yang telah dipasarkan," ujarnya.
Resistensi sel kanker
Sementara itu juga dibahas situasi sekarang, seiring perubahan lingkungan dan gaya hidup, situasi epidemi penyakit kanker di dunia kian mencemaskan.
Hal ini diperparah oleh meningkatnya resistensi sel-sel kanker pada terapi radiasi dan kemoterapi. Teknologi nano untuk terapi kanker dikembangkan untuk mengatasi persoalan itu.
Menurut Harford dalam makalahnya pada simposium "Frontier of Cancer Research", Minggu, di UPH, jumlah kematian akibat kanker melebihi jumlah angka kematian akibat AIDS, tuberkulosis, dan malaria. Masalah kependudukan dan perubahan gaya hidup meningkatkan penyakit kanker, terutama di negara-negara berpendapatan menengah ke bawah.
Pada tahun 2030, sekitar 70 persen kematian akibat kanker terjadi di negara-negara berkembang karena kurangnya kemampuan dan akses terhadap sistem pelayanan kesehatan.
Kepala Laboratorium Human Carcinogenesis Institut Kanker Nasional Amerika Serikat Curtis Harris menambahkan, pengendalian faktor risiko kanker perlu dilakukan sebagai tindakan pencegahan disertai deteksi dini. Sejumlah faktor risiko yang perlu diwaspadai antara lain genetik atau keturunan, lingkungan, dan gaya hidup. "Jangan mengonsumsi satu jenis makanan secara berlebihan,"ujarnya.
Menurut hasil studi mengenai faktor gaya hidup dan kanker di Shanghai, China, seperti dipaparkan Yong Bing Xiang dari Departemen Epidemiologi Institut Kanker Shanghai, China, kebiasaan merokok terkait dengan kematian akibat kanker pada paru, perut, dan pankreas.
Konsumsi teh kemungkinan bisa mencegah perkembangan kanker. Pada perempuan, paparan asap rokok (perokok pasif) di lingkungan kerja dan keluarga meningkatkan risiko kanker dan penyakit kardiovaskular.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.