Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (59): Vegetarian Seumur Hidup

Kompas.com - 23/10/2008, 01:16 WIB

Jörg dan Oi Lye sudah berjaket tebal. Saya, yang kurang persiapan, hanya berbalut sweater dan jaket universitas. Sarung tangan dan topi musim dingin benar-benar membantu. Selebihnya, saya tak punya apa-apa lagi.

Pusing, menggigil, dan meriang. Sudah kurang sedikit lagi mencapai puncak tinggi itu, tantangannya malah semakin berat.
          
          “Tidak ada sakit kepala?” tanya Shri Gurung, seorang porter, penerjemah, sekaligus pemandu rombongan turis Israel. 

Ia mampu memanggul tiga buah ransel seberat total empat puluh kilogram di pundaknya, melalui jalan naik-turun bukit.
Saya menggeleng. Tidak sakit kepala, cuma sedikit pusing saja.

          “Tidak ada muntah-muntah?”
          “Tidak kehilangan nafsu makan?”
          “Jangan kuatir. Bukan Altitude Sickness. Meriang biasa. Saya yakin kamu pasti mampu mencapai Muktiknath,” pria Gurung itu meyakinkan.

Saya hanya bisa tersenyum kecut. Tetapi setidaknya kami jadi bersahabat. Shri Gurung sudah menganggap saya sebagai saudaranya sendiri, karena penampilan saya yang sudah mirip orang Gurung yang Mongoloid. Ia menjuluki saya Gurung Bhai – Saudara Gurung.

Shri Gurung membawa tiga orang turis Israel. Turis-turis bule ini, tidak seperti rombongan kami, tidak pernah menawar dan selalu siap membayar berapa pun yang diminta pemilik pemondokan. Shri Gurung pun kebagian cipratan bonus dari pemilik pemondokan yang senang dapat tamu tajir

          “Kamu beruntung, di Letdar masih bisa dapat penginapan gratis,” ia memuji, “Tetapi setelah ini, Thorung Pedi dan High Camp, semua penginapan mahal. Di sana memang aslinya tidak ada desa, hanya pengusaha penginapan yang tak mungkin melepaskan keuntungan besar karena tidak ada saingan. Tetapi kamu jangan bilang-bilang ya ke tamuku kalau harga-harga di sini masih bisa ditawar.”

Di tempat yang dingin dan tinggi ini, mudah sekali menjadi lelah dan ngantuk. Sepanjang sore yang berkabut, saya melewatkan waktu hanya terbujur di atas kasur keras. Tak sampai setengah jam, saya sudah terbangun oleh teriakan orang-orang di luar sana.

Saya melihat sekelompok pria menyeret makhluk hitam besar sambil berteriak-teriak di lembah tepian jurang. Anjing menggonggong tanpa henti, seperti bergembira menyambut pesta.

          “Penduduk desa ini adalah umat Budha yang religius,” kata Shri Gurung, “Mereka bervegetarian seumur hidup. Bukan hanya tak menyakiti binatang, mereka pun senantiasa mengikuti perintah agama. Tadi, ada dua ekor yak berkelahi. Yang satu mati. Orang-orang ini, mengikuti ajaran Budha, menyeret mayat yak yang mati itu ke lembah, supaya menjadi santapan burung pemangsa.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com