Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenali Seribu Wajah Lupus

Kompas.com - 13/02/2009, 08:15 WIB

MENJELANG ujian akhir sekolah menengah atas, jerawat bermunculan di wajah Tiara Savitri. Tak hanya itu, ia sering terserang panas tinggi disertai bercak-bercak merah. Rambutnya rontok dan timbul rasa nyeri pada persendian. Berbagai keluhan fisik itu membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan.

Tiara dinyatakan positif terserang penyakit lupus. Selama belasan tahun, ia harus berjuang melawan penyakit otoimun yang menyerang jaringan dan organ-organ tubuhnya.

Efek samping pengobatan yang dijalani antara lain pembengkakan organ tubuh sehingga bobot Tiara meningkat drastis. Wajahnya pun membengkak atau dikenal sebagai moon face. Bila kondisinya membaik, dosis obat yang dikonsumsi diturunkan.

Meski harus secara rutin berobat, Tiara tetap memiliki semangat hidup tinggi. Setelah membina rumah tangga, ia sempat keguguran tiga kali hingga akhirnya dikaruniai seorang anak lelaki. ”Saya juga sempat mengalami bocor ginjal,” tuturnya.

Kini sudah sekitar 10 tahun ia hidup tanpa obat-obatan lupus. Tiara yang saat ini genap berusia 40 tahun mengabdikan hidupnya untuk menyosialisasikan tentang lupus dan mendampingi mereka yang terkena penyakit itu.

Kekebalan tubuh

Lupus merupakan penyakit otoimun yang telah tersebar luas dan dapat menyebabkan sistem imunitas tubuh berbalik menyerang jaringan dan organ tubuh kita sendiri.

”Beberapa organ tubuh yang bisa terkena adalah ginjal, jantung, paru-paru, otak, darah, atau kulit,” kata Prof Zubairi Djoerban dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Sistem imunitas tubuh biasanya melindungi tubuh kita dari virus, bakteri, dan jaringan dari luar lainnya. Dalam kondisi otoimun seperti lupus, sistem imunitas tubuh ini kehilangan kemampuan membedakan mana substansi dari luar dan yang merupakan jaringan dan sel itu sendiri. ”Akibatnya, sistem imunitas ini malah membuat antibodi yang menyerang sel sehat dalam tubuh,” ujarnya.

Secara global, diperkirakan terdapat 5 juta orang dengan lupus. Di Amerika Serikat, terdapat 1,2 juta orang yang terkena lupus. Adapun di Indonesia, jumlah kasus lupus yang tercatat mencapai 8.693 orang hidup dengan lupus (odapus) atau meningkat dua kali dibandingkan dengan tahun 2004. Jumlah ini diyakini adalah puncak gunung es karena banyak odapus tidak terdiagnosis.

Menurut suatu survei, 9 dari 10 odapus adalah perempuan. Lupus terdapat dalam dua sampai tiga kasus lebih banyak pada ras Afrika, Asia, Hispanik, dan Amerika asli. Lupus terdeteksi lebih banyak pada masa produktif yaitu usia 15-44 tahun.

Sejauh ini, hanya 10 persen dari odapus yang memiliki saudara dekat (orangtua atau saudara) yang juga terkena atau mungkin terserang lupus. Hanya sekitar 5 persen dari bayi yang dilahirkan oleh odapus kemungkinan akan terkena penyakit ini.

Lupus tak menular, langka, bersifat seperti kanker. Belum diketahui secara pasti penyebab lupus. Namun, para peneliti meyakini faktor genetik meningkatkan risiko terkena lupus. Faktor lingkungan juga bisa memicu lupus di antaranya infeksi, obat-obatan, sinar ultraviolet, bahan kimia, stres, dan hormon.

Sejauh ini ada beberapa tipe lupus. Meski tampak serupa, tiap tipe lupus punya perbedaan gejala dan pengobatan. Menurut situs Mayoclinic, systemic lupus erythematosus dapat menyerang beberapa bagian tubuh termasuk kulit, paru-paru, ginjal, dan darah. Adapun discoid lupus erythematosus hanya menyerang kulit.

Tipe lain adalah drug induced lupus erythematosus yang terjadi setelah penderita mengonsumsi obat. Gejala lupus hilang begitu penderita berhenti memakai obat penyebab lupus. Sementara itu, neonatal lupus menyerang bayi baru lahir.

Berbeda

Lupus dikenal sebagai penyakit dengan seribu wajah sehingga menyulitkan proses diagnosis. Tidak ada dua kasus lupus yang serupa. Hal tersebut disebabkan organ tubuh yang diserang antibodi dalam tubuh bisa beragam dan itu juga menimbulkan manifestasi klinis berbeda.

Sinyal dan gejala berkembang perlahan atau kadang akut, bisa sementara atau permanen, tergantung dari organ tubuh mana terserang. Gejalanya dapat tersamar, bahkan bisa masuk masa remisi hingga mencapai beberapa tahun sebelum terdiagnosis.

Beberapa gejala yang dijumpai adalah sakit pada sendi, demam, sendi bengkak, lelah berkepanjangan, ruam pada kulit, anemia, dan gangguan ginjal. Sejumlah gejala lain adalah sakit di dada saat tarik napas dalam, ruam bentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung, sensitif pada matahari atau sinar, rambut rontok, jari jadi putih atau biru saat dingin, stroke, dan sariawan.

Lupus bisa menyebabkan trombosit jadi rendah, sakit kepala, stroke, dan keguguran. Penyakit otoimun ini juga bisa menyebabkan gangguan pembuluh darah kecil. ”Lupus mengganggu mekanisme pembekuan darah, darah mudah membeku yang menyebabkan stroke,” ujarnya.

”Lupus sulit didiagnosis. Bila perempuan muda sakit dan tak juga sembuh meski bolak-balik berobat ke dokter, ia patut diduga kena lupus,” kata Zubairi. Sebagai contoh, penderita didiagnosis demam berdarah karena trombositnya rendah dan ada bercak merah, tetapi tak juga pulih.

Pengobatan

Pada mayoritas odapus, pengobatan yang efektif dapat meminimalkan gejala, mengurangi inflamasi, serta menjaga fungsi tubuh secara normal. Pendekatan pengobatan berdasar pada kebutuhan spesifik serta gejala pada tiap orang karena gejala dan karakteristik lupus sangat beragam pada tiap individu.

Oleh karena itu, evaluasi dan kontrol medis menyeluruh dan berkelanjutan penting untuk memastikan ketepatan diagnosis dan pengobatan. ”Terapi yang diberikan tergantung dari organ mana yang terkena dan tingkat keparahannya,” kata Zubairi.

Pada umumnya, obat yang diberikan termasuk obat nonsteroidal antiinflammatory, kortikosteroid, acetaminophen, antimalaria dan immunomodulating. ”Pada era 1980-an, tingkat kematian penderita lupus tinggi. Kini angka kematiannya di bawah 10 persen total kasus,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com