Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlu Kemauan Politik untuk Atasi Epidemi

Kompas.com - 15/01/2010, 08:15 WIB

Oleh Atika Walujani Moedjiono

”Sejumlah penyebab kanker payudara dan penyakit terkait hanya bisa dikendalikan lewat langkah politik dan sosial untuk mengurangi produksi, penggunaan, dan pembuangan zat yang secara langsung atau tidak langsung meningkatkan risiko kanker.” Hal itu dikemukakan Scott Davis PhD, ahli epidemiologi dari Universitas Washington yang juga peneliti pada Fred Hutchinson Cancer Research Center Seattle, AS.

Sejak beberapa tahun lalu, para ilmuwan telah mengetahui hubungan antara zat pencemar yang masuk melalui makanan dan kanker. Sebanyak 95 persen dioksin (zat karsinogenik) masuk tubuh manusia lewat makanan. Sisanya lewat sistem pernapasan dan kulit.

Dalam situs nomorebreastcancer.org.uk disebutkan, saat ini lebih dari 500 zat kimia yang terdapat di sekitar kita, seperti detergen, plastik, dan pestisida, bisa menyerupai sekaligus mengganggu hormon tubuh kita. Zat-zat itu berpotensi menimbulkan kanker yang terkait hormon, seperti kanker payudara.

Yang dimaksud dengan kanker payudara, demikian situs American Cancer Society, adalah pertumbuhan menyimpang sel di payudara yang bisa menyebar ke bagian tubuh lain dan bisa mengancam jiwa. Gejala awal kanker payudara antara lain adanya benjolan yang tidak terasa sakit, lekukan di kulit payudara, puting tertarik ke dalam, pembengkakan pada lengan atas, dan keluarnya cairan putih atau seperti darah dari puting.

Diagnosis kanker payudara dilakukan lewat pemeriksaan klinis, mamografi dan ultrasonografi payudara, serta biopsi jika ada benjolan di payudara.

Pada kanker stadium dini, lumpektomi (pengangkatan benjolan) dilanjutkan dengan radioterapi bisa mempertahankan payudara. Namun, pada tumor berukuran besar diperlukan mastektomi (pengangkatan payudara). Untuk memulihkan penampilan, bisa dilakukan rekonstruksi payudara lewat bedah plastik.

Statistik yang menakutkan
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2003 menunjukkan, pada tahun 2002 ada 24,6 juta penderita (semua jenis) kanker, 10,9 juta kasus baru, dan 6,7 juta kematian akibat kanker. Meski bukan penyakit menular, kanker sudah menyerupai epidemi karena terjadi di seluruh dunia.

Menurut International Union Against Cancer (UICC), sebuah lembaga nonpemerintah internasional yang bergerak di bidang pencegahan kanker, penyakit itu membunuh orang lebih banyak daripada total kematian yang diakibatkan AIDS, tuberkulosis, dan malaria. Jumlah kematian akan meningkat secara dramatis dalam dekade mendatang jika kita tidak melakukan upaya nyata. Tahun 2030 diperkirakan lebih dari 12 juta orang akan mati akibat kanker per tahun.

Saat ini kanker menjadi penyebab kematian nomor dua di negara maju dan nomor tiga di negara berkembang. Di negara maju, meski angka kejadian kanker meningkat, angka kesintasan (survival rate) juga meningkat karena kanker terdeteksi lebih dini dan diobati secara baik. Sementara itu, angka kejadian dan kematian terus meningkat di negara berkembang karena fasilitas deteksi dini dan pengobatan belum memadai.

Ancaman kanker payudara
Kanker payudara merupakan kanker yang paling banyak menyerang perempuan. Diperkirakan jumlah kasus baru tidak kurang dari 1.050.346 per tahun. Dari jumlah itu, 580.000 kasus terjadi di negara maju, sisanya di negara berkembang. Berdasarkan estimasi International Agency for Research on Cancer, pada tahun 2020 akan ada 1,15 juta kasus baru kanker payudara dengan 411.000 kematian. Sebanyak 70 persen kasus baru dan 55 persen kematian diprediksi terjadi di negara berkembang.

Kanker payudara bisa dibilang penyakit akibat kemajuan zaman. Selain akibat rokok dan zat pencemar, faktor hormonal dan gaya hidup modern dituding ikut andil dalam timbulnya kanker payudara.

Perbaikan asupan gizi menyebabkan perempuan semakin cepat mendapatkan haid, sebaliknya menopause semakin lambat, yaitu lebih dari usia 55 tahun. Ahli toksikologi yakin, hal ini tak lepas dari peran zat-zat kimia dalam mengubah keseimbangan hormonal tubuh. Demikian juga penggunaan obat hormon dalam jangka panjang. Seabad lalu, perempuan umumnya mendapat haid pada usia 16-17 tahun, kini mereka haid pertama pada usia 12-13 tahun.

Banyaknya perempuan bekerja menyebabkan mereka menunda kehamilan, mengurangi jumlah anak dan waktu menyusui. Penelitian menunjukkan, perempuan yang melahirkan anak kurang dari dua berisiko lebih tinggi terkena kanker payudara dibandingkan dengan perempuan yang melahirkan anak lebih banyak. Ternyata, kehamilan dan masa menyusui bermanfaat memberikan kesempatan bagi tubuh untuk ”libur” dari paparan hormon estrogen.

”Perubahan pola reproduksi meningkatkan ancaman kanker payudara sampai 30-40 persen,” kata Dr Wei Zheng, ahli epidemiologi dari Vanderbilt University, Nashville, Amerika Serikat, seperti dikutip majalah Time, Oktober 2007.

Penyebab lain adalah gaya hidup modern yang menyebabkan orang kurang gerak, mengonsumsi makanan tinggi kalori, tinggi lemak hewan, serta kurang sayur dan buah. Juga adanya predisposisi genetik (mutasi gen BRCA1 dan BRCA2).

Di Indonesia, berdasarkan data Global burden of cancer (Globocan), kanker payudara merupakan kanker terbanyak pada perempuan (26 per 100.000) diikuti kanker leher rahim (16 per 100.000). Hal itu sesuai dengan data Sistem Informasi Rumah Sakit, yang menyatakan dalam kurun waktu 2004-2007 kanker payudara menempati tempat pertama dari 10 jenis kanker terbanyak yang tercatat di rumah sakit, diikuti kanker leher rahim.

Sebanyak 70 persen kasus kanker payudara ditemukan dalam stadium lanjut (III dan IV) sehingga angka kesintasannya rendah. Hal itu, menurut salah seorang pembicara dalam diskusi ”Kanker Payudara sebagai Problem Kesehatan masyarakat”, dr Sutjipto SpB(K) Onk yang juga Ketua Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta, akibat masih rendahnya kesadaran, pengertian, dan pengetahuan masyarakat tentang kanker payudara, sementara penanganan kanker belum mendapat prioritas dari pemerintah.

Selain itu, belum ada program deteksi dini massal, keterbatasan masyarakat mengakses pengobatan yang berkualitas karena masalah ekonomi, serta faktor sosial budaya yang tidak menunjang, misalnya lebih percaya kepada pengobatan alternatif ataupun mitos salah tentang kanker.

Upaya pengendalian
Kanker merupakan penyakit yang sangat menyengsarakan penderita dan keluarganya. Selain menimbulkan kenyerian hebat pada stadium lanjut, pengobatan kanker sangat mahal sehingga mengganggu perekonomian keluarga.

Untuk itu pemerintah dan masyarakat perlu melakukan langkah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan politik, dan strategi dalam mengatasi kanker.

Tahun 2005 World Health Assembly mengadopsi sebuah resolusi untuk pencegahan dan pengendalian kanker yang meminta negara anggota PBB meningkatkan langkah dengan membuat dan memperkuat program pengendalian kanker. Namun, belum semua negara menjadikan program penanganan kanker sebagai prioritas kesehatan masyarakat.

Beberapa tahun terakhir juga dilakukan upaya untuk mengatasi krisis akibat kanker, antara lain WHO menyusun Konvensi Internasional Pengendalian Tembakau (the Framework Convention on Tobacco Control) yang mengajak negara anggota untuk melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok lewat peraturan komprehensif.

Bloomberg Foundation menyediakan dana 125 juta dollar AS untuk gerakan pengurangan ketergantungan terhadap tembakau di seluruh dunia. Sementara itu, the Breast Health Global Initiative menerbitkan sejumlah panduan terkait strategi program kesehatan payudara bagi negara berkembang.

Di Hongaria, setiap perempuan usia 45-65 tahun mendapat mamografi gratis setiap tahun. Di China, asosiasi antikanker meluncurkan gerakan nasional pada tahun 2005 untuk menyediakan mamografi gratis bagi sejuta perempuan usia 30-70 tahun dalam tiga tahun ke depan. Di Afrika Selatan, mobil mamografi disebar ke daerah-daerah agar deteksi dini semakin terjangkau masyarakat pedalaman.

Di Indonesia, seperti dituturkan Kepala Subdirektorat Penyakit Kanker Kementerian Kesehatan drg CM Rini Noviani, Kementerian Kesehatan membuat proyek percontohan penapisan kanker leher rahim dan payudara selama lima tahun mulai tahun 2007 di enam kabupaten (Deli Serdang, Gowa, Karawang, Gunung Kidul, Kebumen, dan Gresik).

Meski penyakit infeksi masih menjadi masalah besar di negara berkembang, pemerintah perlu mulai melakukan upaya pengendalian penyakit tidak menular, termasuk pengendalian tembakau dan penggunaan zat-zat kimia yang bisa memicu kanker. Sebab, keterlambatan tindakan bisa menimbulkan masalah yang tidak kalah berat bagi kesehatan masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com