Jumlah penderita atresia bilier yang ditangani Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, misalnya, mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati.
Konsultan penyakit hati pada anak di RSCM, Dr Hanifah Oswari, SpA(K), Jumat (5/2), mengatakan, ketika itu cangkok hati belum bisa dilakukan di Indonesia. Sementara cangkok hati di luar negeri membutuhkan biaya miliaran rupiah.
Pasien hanya bisa menjalani prosedur kasai atau penyambungan usus ke hati. Prosedur kasai bisa membuat sebagian pasien berumur panjang. Namun, fungsi hati pada sebagian pasien lainnya semakin memburuk. Saat kondisi mulai memburuk inilah, dibutuhkan cangkok hati seperti yang akan dilakukan kepada Bilqis.
”Umumnya, pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah buruk, yakni saat bayi berusia lebih dari dua bulan. Selain itu, orangtua bayi berasal dari keluarga tidak mampu sehingga tak bisa menyediakan uang yang cukup untuk cangkok hati,” ucap Hanifah.
Jumlah bayi atresia bilier yang dibawa ke RSCM merupakan sebagian saja karena ada bayi
Hanifah mengatakan, hingga saat ini kasus atresia bilier masih terus dijumpai di RSCM. Namun, solusi cangkok hati belum banyak diambil pasien lantaran biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Bilqis, menurut Hanifah, adalah puncak gunung es kasus atresia bilier di Indonesia.
Hingga kemarin, ada dua bayi yang tengah dirawat di RSCM yang diduga mengalami atresia bilier. Kedua bayi berusia di bawah tiga bulan itu masih menjalani pemeriksaan untuk membuktikan mereka terkena atresia bilier atau tidak.