Jakarta, Kompas -
Hal itu terungkap dalam pengarahan pers
obat yang tidak tersedia itu sebagai besar merupakan obat yang paling dibutuhkan masyarakat
Kendala penyediaan obat itu, antara lain, disebabkan biaya distribusi yang tinggi untuk wilayah Indonesia timur dan Indonesia tengah sehingga produsen enggan mendistribusikannya. Lebih dari 98 persen industri farmasi berada di Pulau Jawa dan beberapa di Sumatera.
Untuk menjamin ketersediaan obat, Kementerian Kesehatan merasionalisasi harga obat. Pemerintah telah menetapkan harga 453 item obat generik lewat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.03.01/Menkes/146/I/2010 tanggal 27 Januari 2010 tentang harga obat generik. Setelah rasionalisasi ditetapkan, terjadi penurunan harga 106 item obat, kenaikan harga untuk 33 item, dan sisanya, 314 item dengan harga tetap.
Pabrik obat atau pedagang besar farmasi dalam menyalurkan obat generik kepada rumah sakit pemerintah, apotek, dan sarana pelayanan kesehatan lainnya dapat memasukkan biaya distribusi 5-20 persen dari harga neto apotek (HNA) plus Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Harga patokan tertinggi selama ini menggunakan HNA plus PPN.
Persentase tambahan biaya distribusi itu tergantung regional. Regional I, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung, dan Banten, tidak diperkenankan menambah biaya distribusi. Adapun Regional IV, mencakup Nusa Tenggara Timur,
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Ratna Rosita Hendardji mengatakan, pemerintah akan memantau harga dan ketersediaan obat setelah rasionalisasi. ”Kami mengupayakan keterjangkauan harga obat generik,” ujarnya.
Obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non-Propieritary Names (zat berkhasiat yang dikandung). Adapun obat generik bermerek atau bernama dagang adalah obat generik dengan nama dagang produsen.