Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Epidemi Plagiarisme

Kompas.com - 19/02/2010, 11:37 WIB

Sumber penyebab

Tentu tidak terlalu sulit mencari alasan melakukan penjiplakan. Dalam konteks masyarakat kita, ada tiga penyebab yang diduga kuat menggiring orang terjerumus ke perbuatan aib itu. Pertama, meminjam istilah Koentjaraningrat (1986), adalah mentalitas menerabas—dalam arti ingin cepat tenar dengan cara yang cemar—masih bercokol kuat di masyarakat.

Di zaman persaingan tak sehat ini, daya tahan orang untuk mengikuti proses kian tergerus dan lalu digantikan oleh semangat mengutamakan hasil. Demi hasil, apa pun halal. Maka, prinsip asal-jadi (sarjana, profesor, tokoh populer) dengan cara menjiplak pun jadi acuan bertindak. Kedua, budaya simulacra yang bukannya terkikis habis oleh eskalasi rasionalitas, tetapi justru cenderung kian mengental.

Persisnya, ada semacam sindrom megalomania alias ”pantang tidak disebut hebat” yang mendera akal sehat banyak orang. Kaum terdidik tidak luput dari sindrom ini. Hal itu terpapar lewat potret kinerja akademik: publikasi ilmiah. Karena takut tidak disebut pakar yang hebat, mereka lalu memproduksi banyak karya ilmiah dalam tempo sesingkat-singkatnya. Di titik rawan inilah kemudian aksi penjiplakan terlihat begitu seksi sehingga orang tergoda untuk melakukannya.

Ketiga, minimnya sanksi hukum. Penjiplakan sebagai tindakan mengambil karya orang lain tanpa pemberitahuan secara terbuka, lalu menerbitkannya sebagai karangan sendiri (KBBI, 1994), sesungguhnya mengandung unsur pidana. Ia bisa disamakan dengan korupsi atau minimal pembajakan. Namun, sejauh ini belum ada sanksi hukum bagi plagiator, kecuali mungkin sanksi administratif belaka.

Tentu ada kondisi lain yang bisa memuncaki gairah menjiplak. Pertama, fakta bahwa tidak semua anggota redaksi jurnal ilmiah serius menelisik keaslian naskah yang akan diterbitkan, apalagi penulisnya punya nama besar. Kedua, dosen penguji tak mau repot-repot memeriksa baris demi baris karya ilmiah yang diajukan mahasiswa. Jadi, selama kedua pilar ini keropos, sulit membasmi epidemi penjiplakan.

Penulis adalah Guru Besar Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com