Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Epidemi Plagiarisme

Kompas.com - 19/02/2010, 11:37 WIB

Biasanya reaksi penerbit seperti ini bisa berujung pada pencantuman pengarang di daftar hitam. Jika demikian, berakhirlah sudah nama besar dan kredibilitas Twitchell sebagai profesor sekaligus penulis kondang.

Sudah mewabah

Tentu Twitchell tidak sendirian untuk urusan yang satu ini. Sebab, tidak sedikit profesor di AS yang terjerat kasus penjiplakan. Ada rektor yang ditengarai kuat terlibat kegiatan itu ketika menulis disertasi puluhan tahun sebelumnya. Ada ketua jurusan, juga dengan jabatan profesor, yang terbukti membimbing penulisan karya mahasiswa yang diketahuinya sarat penjiplakan.

Tak ketinggalan pula sejumlah ilmuwan yang melakukan penjiplakan untuk publikasi di jurnal ilmiah. Profesor Lee S Simon, misalnya. Guru besar kedokteran di Harvard Medical School itu dilaporkan menjiplak karya orang lain ketika ia menulis artikel ilmiah yang dimuat di jurnal biomedis setempat.

Seperti diwartakan The Chronicle of Higher Education (15/03/2009), aksi yang berseberangan dengan etika ilmiah itu terdeteksi oleh tim redaksi jurnal yang cermat membaca naskah kiriman Profesor Simon. Dengan bantuan alat pelacak teks di komputer, akhirnya ditemukan kesamaan isi tulisannya dengan karya orang lain sebelumnya. Tiada maaf, artikel tersebut ditarik kembali oleh pengelola jurnal. Mungkin karena tidak tahan dengan sorotan publik, lalu Profesor Simon pun mengundurkan diri dari jabatannya.

Epidemi penjiplakan juga menjalar ke kalangan mahasiswa di Inggris. Tidak tanggung-tanggung, wabah ini merebak di University of Cambridge, salah satu perguruan tinggi kesohor di Benua Eropa. Koran The Chronicle of Higher Education (20/1/2009) merilis hasil survei yang menemukan 49 persen dari 1.014 responden mahasiswa universitas tersebut terlibat penjiplakan.

Bentuknya beragam, mulai dari sekadar menuliskan ide orang lain di dalam tulisan sendiri tanpa menyebut sumbernya, mengopi dan lalu menempelkan (copy-paste) tulisan orang lain di dalam tulisan sendiri, hingga mengopi hasil riset orang lain kemudian dimuat di laporan penelitian sendiri.

Tidak sedikit pula yang mengajukan karya sejenis untuk tugas mata kuliah yang berbeda dengan mengutak-atik judul dan paragraf. Lebih serius lagi, ada yang mengambil jalan pintas dengan cara membeli esai dari penyedia jasa di internet.

Bagaimana dengan kita? Memang belum ada studi tentang seberapa luas penyebaran epidemi penjiplakan karya ilmiah di negeri ini. Ini adalah pekerjaan besar bagi pihak yang berkepentingan meski harus diakui bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) sudah membuat rambu-rambu sanksi. Yang jelas, kasus yang menimpa seorang guru besar di Universitas Parahyangan, Bandung (Kompas, 10/2/2010), dan skandal sejenis yang melibatkan beberapa akademisi sebelumnya ataupun sesudahnya (berita utama Kompas, 18/2/2010) menunjukkan wabah penjiplakan menjadi ancaman serius bagi integritas akademik ilmuwan dan calon ilmuwan kita saat ini.

Repotnya, epidemi penjiplakan karya ilmiah tidak mudah diberantas. Tindakan menjiplak karya orang lain sudah terjadi ratusan tahun silam. Di situs Wikipedia (ensiklopedia bebas) edisi bahasa Inggris, misalnya, kita dapat mengunduh daftar penjiplakan kontroversial yang dilakukan oleh orang-orang ternama di bidangnya sejak Abad Pertengahan. Aksi itu merasuki karya-karya akademik, jurnalistik, sastra, dan musik. Bahkan, sejumlah artikel yang dimuat di Wikipedia itu sendiri pernah diklaim sebagai karya jiplakan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com