Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bicara tentang Jiwa Terpecah

Kompas.com - 05/10/2010, 07:09 WIB

Kini telah lebih dari 100 tahun sejak psikiater asal Jerman, Emil Kraepelin, mendeskripsikan gangguan jiwa yang oleh ilmuwan asal Swiss, Paul Eugen Bleuler (1857-1939), dinamai skizofrenia, tapi skizofrenia tetap menyimpan misteri.

Kata skizofrenia berakar dari bahasa Yunani, schizein (terbelah) dan phren- (pikiran). Di Indonesia, skizofrenia termasuk gangguan jiwa berat yang terbanyak penderitanya. Kementerian Kesehatan lewat Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mencatat, penderita gangguan jiwa berat 0,46 persen dari populasi nasional.

Skizofrenia diduga diderita 6-19 orang per 1.000 penduduk. Jika jumlah penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, tak kurang dari 1,2 juta penduduk menderita skizofrenia.

Butuh waktu lama sampai skizofrenia terdiagnosis. Untuk Iman (45), itu berarti 20 tahun. Saat itu dia masih mahasiswa IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Suatu hari, Iman berdebat dengan salah satu dosennya. Sejak itu, Iman tidak bisa tidur sepicing pun selama tiga hari. ”Saya tidak terima pendapat dosen itu. Saya coba membaca kitab suci dan mendengarkan khotbah di acara mimbar agama untuk menenangkan diri, tetapi tidak mempan. Saya uring-uringan dan mudah marah,” ujarnya.

Keluarga Iman lalu membawanya ke dokter umum yang lalu merujuknya ke sebuah rumah sakit lain. ”Saya masuk bagian kejiwaan dan dirawat satu bulan,” paparnya.

Iman terus meminum obat. ”Saya bertanya-tanya mengapa harus terus minum obat. Bertahun-tahun kemudian, baru saya tahu kalau saya skizofrenia,” ujarnya. Begitu absen minum obat, kepala Iman mulai sakit. Lain waktu, setelah membaca Kitab Wahyu, Iman yakin betul dirinya adalah salah satu rasul. Dia pun yakin hendak dibunuh.

Skizofrenia menunjukkan gejala tidak umum. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia dr Tun Kurniasih Bastaman SpKJ mengatakan, gejala skizofrenia antara lain halusinasi-persepsi pancaindra salah dan tidak ada stimulusnya, seperti mendengar suara padahal tidak ada yang berbicara, melihat sesuatu, mencium bau, mengecap, merasa ada yang menjalar di kulit—yang tidak ada dalam kenyataan.

Gejala lainnya, delusi atau waham, yaitu isi pikiran tidak sesuai dengan kenyataan yang tetap yakin meski telah ditunjukkan bukti bahwa isi pikirannya salah. Misal orang itu yakin dirinya utusan Tuhan.

Luni yang hidup dengan skizofrenia kerap melihat hantu pocong dan bayangan gelap. Ia disiplin berobat dan belajar keagamaan, tetapi tetap sulit menghilangkan ilusi itu. ”Saya ingin menghilangkan ketakutan saya melihat hantu,” ujar Luni, pada pertemuan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia beberapa waktu lalu.

Sejauh ini, diyakini gangguan itu terkait ketidakseimbangan zat neurokimia yang berfungsi sebagai neurotransmiter di otak. Otak manusia terdiri dari miliaran sel yang terhubung dan berkomunikasi. Stimulasi pada suatu sel akan menghasilkan neurotransmiter yang akan menstimulasi sel lain. Salah satu neurotransmiter ialah dopamin yang aktif di wilayah otak yang berperan meregulasi emosi atau sistem limbik.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau