Bocoran radiasi merupakan faktor yang menambah beban bagi warga Jepang. Di luar isu radiasi nuklir, sejumlah warga di dekat lokasi gempa mengalami kekurangan pasokan pangan, kedinginan karena salju turun, dan pemadaman karena aliran listrik putus. Namun, kepanikan tidak muncul, kecuali akibat rentetan ledakan di PLTN.
Seorang warga AS, Mandy Hlubeck, bertutur tentang pengalamannya saat hengkang dari Sapporo menuju Atlanta. Ia telantar sendirian di Sapporo, Jepang utara, dua hari setelah gempa menimpa 11 Maret lalu. Namun, ia diberi uang dalam bentuk yen untuk membeli minum karena uang yang dipegangnya bukan dalam bentuk yen. ”Saat di dalam pesawat saya diberi kue oleh sepasang suami-istri di pesawat. Mereka sungguh baik,” kata Hlubeck, seraya menyatakan bahwa setiap orang begitu bermurah hati.
Doktor Don Sisk, Presiden Emeritus Baptist International Missions Incorporated, juga dari AS, bercerita soal pengalaman serupa. ”Warga Jepang tidak panik sebagaimana jika itu terjadi di AS. Mereka terluka di dalam, tetapi tidak memperlihatkan keluar.”
John Nelson, seorang pakar kawasan Asia dari University of San Francisco, menjelaskan fenomena tersebut. Ia mengatakan, orang Jepang tidak akan meratapi yang sudah terjadi. ”Mereka malah bertanya, apakah yang dilakukan selanjutnya,” tuturnya.
Nelson mengatakan, masyarakat Jepang terlihat sekuler. Namun, dalam kasus tertentu, mereka akan kembali memegang nilai-nilai tradisional. ”Ada ucapan terkenal di Jepang bahwa orang-orang akan kembali ke dewa-dewa jika sedang dalam kesulitan. Dan saya kira itu yang kita lihat sekarang ini,” lanjut Nelson. Ia menambahkan, acara-acara ritual Shinto dan Buddha memengaruhi kehidupan Jepang.
Duncan Williams, seorang biksu, juga memberi penjelasan. Pengaruh Buddha menjadi faktor utama di balik kesabaran, daya tahan, serta pengorbanan dalam sebuah tragedi.
Hal itu juga didukung oleh Ian Reader, profesor ahli Jepang dari University of Manchester (Inggris), serta Brian Bocking, pakar budaya Asia dari University College Cork (Irlandia).