Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berjuang Melawan HIV Bersama Sang Buah Hati

Kompas.com - 01/12/2011, 09:31 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com — Akhir-akhir ini,  kasus penularan HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga terus mengalami peningkatan. Salah satu faktor pemicu tingginya angka HIV di kalangan ibu rumah tangga adalah banyaknya lelaki atau suami yang melakukan hubungan seksual berisiko, seperti menjadi pelanggan seks komersial.

Perilaku ini tentu bukan saja sangat merugikan dan mengancam kesehatan para ibu, melainkan juga anggota keluarga lain, termasuk sang buah hati. Pasalnya, seorang ibu yang mengidap HIV/AIDS berisiko menularkan penyakit tersebut kepada anak mereka baik ketika hamil, melahirkan, atau menyusui.

Mengidap HIV akibat penularan dari suami merupakan sebuah ujian berat bagi perempuan mana pun. Hal itu pun diakui oleh seorang ibu rumah tangga asal Bandung yang kini menyandang status sebagai ODHA (orang dengan HIV/AIDS).

Perempuan ibu rumah tangga, sebut saja Nina (27), kini harus berjuang bersama anak semata wayangnya, Tasya (5), untuk melawan penyakit mematikan yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya. 

Ia mengakui, virus HIV yang menggerogoti tubuhnya itu merupakan "pemberian" sang suami. Akibat penyakit itu pula, Nina harus kehilangan suami tercintanya yang telah lebih dulu dipanggil Sang Khalik.

Nina menuturkan, sebelum meninggal suaminya pernah menunjukkan suatu tanda-tanda aneh pada tubuhnya, seperti mulut penuh jamur dan penurunan bobot yang cukup drastis. Ia pun tidak pernah menyangka kalau penyakit yang dialami suaminya itu adalah AIDS.

"Pas pacaran tidak pernah dikasih tahu kalau dia kena penyakit itu. Keluarga dia sebenarnya sudah tahu, tapi tidak bilang," katanya, saat ditemui pada acara Diskusi Media dengan tema 'Perluasan Dukungan bagi Anak Terinfeksi dan Terdampak HIV/AIDS', Rabu, (30/11/2011) di Bandung.

Sewaktu masa pacaran, kata Nina, ia pernah diajak oleh suaminya untuk bertemu dengan teman-temannya. Di sana ia melihat bahwa suaminya sering ditato dan menggunakan ganja bersama teman-temannya. Nina menduga, penyakit itu mungkin didapat akibat perilaku tidak sehat suaminya saat itu.  "Sampai akhirnya dia sakit parah, terus tahun 2006 dia meninggal," imbuhnya.

Sayangnya saat itu,  Nina mengaku sama sekali tidak tahu apa itu HIV/AIDS, bagaimana penularannya dan apa ancaman yang mungkin dapat ditimbulkan. Bahkan setelah kematian suaminya, ia tidak pernah berpikir untuk memeriksakan kondisi kesehatannya ke rumah sakit. Sehingga pada suatu ketika ia harus kembali kecolongan saat melahirkan anak pertamanya.

Di usianya yang masih sangat muda, Tasya terpaksa harus mengidap suatu penyakit ganas yang ditularkan orangtuanya. Menurut Nina, ketika memasuki usia 8 bulan anaknya sering jatuh sakit dan mengalami diare. Sampai akhirnya pada tahun 2009, gadis malang itu harus menjalani perawatan di rumah sakit akibat jatuh pada problem gizi buruk.

"Pas dites darah anak saya hasilnya positif. Terus saya juga ikut dites, dan hasilnya positif juga," katanya.

Rasa takut, bercampur sedih, kecewa, dan kesal ketika itu bercampur aduk menjadi satu. Setelah didiagnosa positif mengidap HIV, barulah Nina mencari tahu tentang seluk-beluk penyakit ini.

Kini, Nina dan anaknya harus rutin menggunakan obat antiretroviral  (ARV) guna memperpanjang harapan hidupnya. Obat tersebut rutin diminumnya dua kali setiap hari, pada jam 8 pagi dan 8 malam. Obat ARV berfungsi menghambat kerusakan sel-sel di dalam tubuh sekaligus menghambat perkembangan virus HIV. 

"Saya dikasih obat ARV sama dokter. Dokter jelasin, kalau sampai tidak diminum obatnya, bisa timbul jamur pada mulut dan badan kurus," jelasnya.

Sebelum diberikan ARV, jumlah kadar sel CD4 (sel kekebalan tubuh) Nina ketika itu sangat rendah, sekitar 38. Padahal nilai normal CD4 adalah 800-1.000.

"Habis makan obat efavirenz langsung kaya mabok. Jadi habis minum obat itu harus tidur. Tidak boleh banyak gerak. Sampai sekarang masih rutin minum dan kontrol tiap bulan sekali di Klinik Teratai Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS)," ungkapnya.

Nina mengaku tidak terlalu kesulitan untuk mendapatkan ARV karena obat ini disediakan gratis di Klinik Teratai. Tetapi untuk obat-obatan antibiotik lainnya, ia tetap harus membeli sendiri. Setiap melalukan kontrol ke rumah sakit, Nina juga harus merogoh kocek Rp 50.000 untuk biaya pendaftaran bersama anaknya.   

Permasalahan yang kini dihadapi Nina dan para penyandang ODHA lainnya adalah masih kuatnya stigma atau kesan buruk dari masyarakat. Padahal, sikap dan stigma buruk itu justru dapat menghambat upaya penanggulangan HIV/AIDS.

"Masyarakat atau tetangga sih belum tahu, tetapi keluarga saya sudah pada tahu," ucapnya.

Nina mengaku pasrah. Entah sampai kapan ia harus menyembunyikan penyakitnya itu. Tetapi, dengan dukungan penuh dari keluarga dan rasa tanggung jawabnya sebagai orangtua tunggal, ia masih menyimpan harapan untuk menatap masa depan. Harapan itulah yang menjadi satu-satunya kekuatan baginya untuk terus bertahan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com