Oleh Mawar Kusuma & Aryo Wisanggeni
KOMPAS.com — Butuh perjuangan panjang hingga pengobatan alternatif diterima dunia medis. Putu Oka Sukanta memulai perjuangan itu ketika belajar akupunktur atau tusuk jarum di Penjara Salemba. Kini, rumah sakit pun menggunakan cara akupunktur sebagai upaya penyembuhan.
Sebagai tahanan politik, ia memanfaatkan senar gitar halus untuk mengganti jarum dan kemudian mengembangkan teknik akupresur atau akupunktur tanpa jarum. Sepuluh tahun di penjara sejak 1967, Putu mengembangkan teknik-teknik baru akupresur dengan pijatan jari. Kini, ratusan orang sudah belajar dari keahliannya, dan buku teori serta praktik pijat akupunktur yang disusunnya telah diadopsi Kementerian Kesehatan.
Persentuhan Putu dengan dunia medis diawali ketika ia mulai menularkan keterampilan akupresur kepada masyarakat, dan terlibat di Puskesmas Ragunan, Jakarta Selatan. Dari Ragunan, akupresur kemudian dikenalkan juga ke pihak puskesmas di Duren Sawit, Petamburan, dan Pondok Kelapa.
Pada tahun 1990-an, kegiatan yang dijalankan Putu melalui Yayasan Pengobatan Tradisional Indonesia (Yaptri) ini dinyatakan aman oleh Departemen Kesehatan. Bahkan, Departemen Kesehatan membuat program pelatihan dan pengembangan akupresur untuk kader kesehatan desa dan tenaga kesehatan.
Akupresur mudah dipelajari karena tidak membutuhkan jarum, dan kurikulumnya cukup singkat. Akupresur bisa dimanfaatkan untuk penyembuhan diri (self healing), terutama untuk penyakit ringan, seperti mual dalam perjalanan, sakit kepala ringan, dan susah buang air besar.
Putu juga mengajarkan ilmu akupresur ini di tujuh penjara di Jakarta, terutama untuk peningkatan daya tahan tubuh bagi pasien HIV/AIDS. Saat ini, Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan LP Salemba juga sudah memiliki klinik akupresur yang dijalankan warga binaan. "Minat masyarakat sangat tinggi karena akupresur aman," ujar Putu.
Ramai-ramai belajar
Kini, sejumlah rumah sakit, seperti CD Bethesda di Klitren, Yogyakarta, membuka klinik akupunktur dan akupresur. Mariskoti (48) adalah salah satu pasien terapis akupunktur Henri Zakharia (24) di CD Bethesda. Selama 30 menit, kabel-kabel listrik dari sebuah kotak kecil yang disebut stimulator mengirim aliran listrik untuk menggetarkan jarum di tubuh Mariskoti. "Sejak dua tahun terakhir saya mengandalkan akupunktur untuk meredakan serangan vertigo," katanya.
Akupunktur juga memikat Bustanul Arifin (28), mahasiswa S-2 Jurusan Biomedis dan Jurusan Manajemen Rumah Sakit, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia kini kerap menjalani terapi akupunktur justru karena dirinya sedang berguru di Klinik Akupunktur dan Akupresur CD Bethesda.
Siang itu, Bustanul menjalani terapi akupunktur untuk mengurangi kegemukan. Sejumlah jarum ditusukkan ke perutnya, juga sisi luar betisnya. Bustanul menakar sendiri derasnya aliran listrik dari stimulator ke-12 jarum di sekujur tubuhnya. Kengerian melihat jarum di sekujur tubuh Bustanul sirna karena dia terus bergurau dengan Henri yang membimbingnya.