Ondo adalah backpacker
Ondo percaya, biaya tak seharusnya menjadi kendala untuk mendatangi tempat-tempat wisata pilihan. Biaya harus dapat kita tentukan sendiri.
Traveling
”Selain irit, berwisata ala backpacker bisa lebih meresapi petualangan selama perjalanan,” katanya.
Pengalaman baru, teman-teman baru, dan hal-hal baru yang ditemui sepanjang perjalanan membuat Ondo ketagihan.
Demi menghemat biaya, berbagai moda transportasi umum tak pantang dicoba, seperti bus dan truk barang. Bermalam di rumah ibadah hingga kantor polisi pernah dilakoninya.
Jaringan pertemanan di setiap daerah yang dikunjungi menciptakan tempat menginap gratis saat mengunjungi daerah itu lagi kelak. Informasi tujuan digali melalui interaksi dengan masyarakat lokal, termasuk cara termurah menuju lokasi. Ondo bisa menghemat 40 persen biaya.
”Faktor terpenting yang membuat orang sukses berwisata ala backpacker, 80 persennya ditentukan oleh jaringan,” kata Ondo.
Ia juga mengingatkan pentingnya detail perencanaan sebelum bepergian, misalnya tiket pesawat yang dibeli 3-4 bulan sebelumnya akan lebih murah.
Kiat-kiat wisata murah juga ditempuh Gunawan Hendro Cahyono (47), backpacker asal Semarang. Saat pergi ke Beijing, China, bersama istrinya selama delapan hari pada September 2010, ia hanya menghabiskan Rp 6 juta. Untuk menghemat, ia tidak langsung naik pesawat dari Jakarta ke Beijing, tetapi memilih rute penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur, kemudian disambung ke Guangzhou.
”Dari Guangzhou, saya dan istri naik kereta ke Beijing. Kalau naik pesawat langsung, sekitar Rp 3 juta. Dengan cara estafet begini, hanya habis Rp 1,2 juta per orang,” kata Gunawan yang mencari tahu informasi ini empat bulan sebelumnya.
Alhasil, Gunawan sudah berkeliling hampir di semua negara Asia Tenggara dan China dengan biaya jauh lebih murah dibandingkan dengan mengikuti program perusahaan turisme.
Kemarin, Kompas menjumpai Alex Hernandez (20) dan Carlos Serena (30) yang hendak ke Tanjung Priok, Jakarta Utara. ”Kami ingin cari tempat surfing yang bagus. Makanya kami mau cari peta dan tanya-tanya ke pelabuhan,” ucap Alex dengan bahasa Inggris beraksen Latin.
Alex dan Carlos—yang berasal dari Spanyol—sudah sebulan berada di Indonesia. Mereka menyusuri Sumatera dan Jawa menggunakan bus dan kereta api, bermalam di penginapan murah, makan di pinggir jalan, sembari mencari obyek wisata menarik.
Alex dan Carlos menganggarkan biaya makan, menginap, dan keperluan lain sebesar 10 euro (sekitar Rp 120.000) per hari. ”Saya membawa 2.000 euro (Rp 24 juta) untuk biaya hidup saya selama tiga bulan dan tiket pesawat pergi-pulang Spanyol,” ucap Alex yang libur tiga bulan dari perusahaan swasta tempatnya bekerja.
Berwisata ala backpacker memang kian marak. Bahkan, para backpacker dari seluruh dunia juga membentuk jaringan sendiri di dunia maya lewat milis, jejaring sosial Facebook, dan blog sehingga bisa saling kontak saat pergi ke negara tempat domisili rekan mereka. Di antaranya situs indobackpacker.com atau travelersfortravelers.com. Ada juga forum lain seperti backpackerdunia di milis Yahoo dan backpacker.indonesia di Facebook.
Adhadi Praja (23), pemuda asal Garut, Jawa Barat, puas dan bangga bisa menaklukkan kata mahal bepergian ke Pulau Dewata. Ia hanya menghabiskan Rp 500.000 dari Bandung, Jawa Barat, ke Pulau Bali selama tujuh hari perjalanannya pergi-pulang.
”Ya, saya senang sekali. Capai? Tentu saja, tetapi semua itu terbayar dengan jalan-jalan di Bali seperti mimpi saya. Tak terlupakan!” tutur Adhadi.
Uang Rp 500.000 itu untuk perjalanan naik kereta sambung-menyambung dari Bandung ke Yogyakarta dan Banyuwangi, makan selama seminggu, menginap di Losmen Arthawan, Kuta, Bali, selama dua hari dua malam, dan menyewa motor Rp 40.000 per unit per hari.
Di Bali, kalangan backpacker semakin dikenal, terutama di sejumlah penginapan kelas melati. Penginapan di sekitar Jalan Popies I ataupun Popies II, Kuta, menjadi sasaran backpacker karena harganya terjangkau, mulai dari Rp 50.000 per kamar per malam.
Fenomena backpacker, menurut Kepala Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Heru Nugroho, merupakan gaya hidup yang bisa dilakoni siapa saja. Namun, tetap ada yang bertahan pada semangat para pendahulu.
Backpacker
Namun, ada juga backpacker ”gedongan” dengan peralatan serta pakaian mewah dan mahal.
”Sekarang saya tidak melihat representasi semangat ideologis dari kaum pendahulu. Sekarang lebih merupakan lifestyle alternative traveling,” ujar Heru.
Nah, pilihan ada di tangan kita. Tak perlu surut langkah berwisata karena minim biaya. Yuk...!