Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Balita Pun Kecanduan Merokok...

Kompas.com - 20/03/2012, 05:56 WIB

Oleh Lusiana Indriasari

Ilham Hadi (8) terlihat asyik mengaduk-aduk akuarium di kantor Komisi Nasional Perlindungan Anak di bilangan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Sejurus kemudian, ia tampak resah. Matanya mulai liar mencari-cari sesuatu. 

Ia kemudian berlari menghampiri Nenah (31), ibu kandungnya yang sedang berada di ruangan lain.

”Rokoknya mana... mau rokok... rokok...!” kata Ilham. Nenah hanya terdiam melihat permintaan anaknya. Ia sedikit menyingkir karena Ilham mulai terlihat hendak menyerang ibunya yang ikut menemani Ilham ke kantor Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Senin (19/3).

Agan Umar (35), ayah Ilham, mencoba membujuk anak pertamanya itu untuk membeli jajanan atau mainan. Namun, Ilham tidak menggubrisnya. Mulut mungilnya terus mencerocos meminta rokok.

Emosinya mulai naik karena tidak ada satu pun orang dewasa di situ yang mau memenuhi permintaannya. Ia mulai memukul, menendang, atau menjambak ayah-ibunya, dan juga Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait.

Mencontoh paman

Ilham dibawa ke kantor Komnas PA untuk direhabilitasi. Ia diantarkan oleh orangtuanya; petugas Puskesmas Desa Karawang Girang, Kabupaten Sukabumi—kampung halaman Ilham—serta Kepala Dinas Kesehatan Sukabumi Adrialti Syamsul.

Sejak berumur empat tahun, Ilham sudah mengenal rokok. Ia mencontoh orang dewasa. Menurut Agan, Ilham sering berkumpul dengan paman dan orang-orang dewasa lain yang duduk-duduk minum kopi sambil merokok. Ia melihat, mencoba merokok, dan akhirnya kecanduan merokok.

Bocah kecil yang seharusnya masih menikmati masa kanak-kanaknya itu kini kecanduan rokok. Ia sering kali kehilangan kendali dirinya ketika tubuh mungilnya mulai meminta asupan nikotin. Setiap hari, dua bungkus rokok bisa dihabiskan oleh Ilham.

Menurut Adrialti, tingkat kecanduan Ilham terhadap nikotin dari rokok sudah sampai pada level berat. ”Secara psikologis, Ilham sudah bergantung pada nikotin. Jika ia tidak mengisap rokok, perilakunya menjadi kasar. Selain memukul, ia juga merusak benda-benda di sekitarnya,” kata Adrialti.

Ketika otak sudah tidak bisa mengendalikan perilakunya, mata Ilham menatap tajam. Ia semakin gelisah, lalu berjalan ke sana kemari sambil mulutnya berulang kali memaki dengan kata-kata kasar. ”Kalau sudah tidak bisa dikendalikan, saya menyerah. Saya terpaksa memberikan rokok kepada Ilham,” tutur Agan lirih.

Ilham hanyalah satu dari banyak bocah kecil yang kecanduan nikotin dari rokok. Manajer Program Komnas PA Lisda Sundari mengungkapkan, temuan-temuan kasus seperti Ilham yang kebetulan diungkap wartawan hanya yang tampak di permukaan.

Sebagai gambaran, dari 2010 hingga sekarang, Komnas PA menemukan sedikitnya 20 kasus anak berusia di bawah lima tahun (balita) yang menjadi perokok aktif. ”Data resmi Kementerian Kesehatan tentang anak balita yang merokok aktif tidak ada. Pemerintah hanya mengeluarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang meneliti perokok aktif pada anak usia 10-14 tahun,” kata Lisda.

Untuk perokok aktif usia 10-14 tahun, data Riskesdas menunjukkan terjadi peningkatan yang mengejutkan. Dari 1995 hingga 2010, jumlah perokok aktif usia 10-14 tahun melonjak enam kali lipat. Jika pada 1995 jumlah perokok aktif usia 10-14 tahun ”hanya” sekitar 71.000 anak, pada 2010 menjadi 426.000 anak. ”Saya yakin jumlah usia perokok aktif di bawah usia 10-14 tahun juga banyak,” ujar Lisda.

Mengganggu kecerdasan

Selain Ilham, kasus lain yang pernah terangkat ke permukaan adalah kasus Aldi (2,5), warga Desa Telukkemang, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, dan Sandi (4) dari Malang, Jawa Timur. Aldi yang anak tukang sayur ini mulai merokok sejak berumur 11 bulan dan dalam sehari ia bisa menghabiskan empat bungkus rokok, demikian juga dengan Sandi.

Dampak rokok terhadap kesehatan anak-anak sama seperti orang dewasa. Rokok bisa menyebabkan kanker paru-paru, gangguan jantung, terhambatnya perkembangan anak, dan masih banyak lagi. Karena rokok, nafsu makan Ilham menurun. Ia termasuk anak yang mengalami kekurangan berat badan karena berat badannya hanya 18 kilogram. Anak seusia Ilham seharusnya memiliki berat badan minimal 28 kilogram.

Dampak rokok juga bisa menurunkan hemoglobin atau kadar oksigen dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan gangguan kecerdasan dan fungsi organ tubuh lain.

Anak-anak balita yang kecanduan rokok ini sering kali tidak mampu mengendalikan dirinya. Keterbatasan untuk mendapatkan rokok, terutama karena tidak memiliki uang, membuat bocah-bocah kecil ini rela berbuat apa saja. Agan bercerita, anaknya baru mau sekolah kalau dibekali sebungkus rokok dan uang Rp 10.000.

Agan yang bekerja sebagai buruh serabutan tidak mampu memenuhi permintaan Ilham. Demi mendapatkan uang untuk membeli rokok, Ilham tidak lagi sekolah lalu bekerja menjadi tukang parkir di sebuah minimarket yang berjarak 2,5 kilometer dari rumahnya. Kalau benar-benar tidak memiliki uang, ia nekat mencuri di rumah tetangga.

Perilaku Ilham tidak bisa ditangani lagi oleh dinas kesehatan setempat, terutama dari sisi penanganan psikologis Ilham. Adrialti mengatakan, di Kabupaten Sukabumi mereka hanya memiliki dokter spesialis anak dan tidak memiliki psikolog atau psikiater.

Sore itu, Ilham diserahkan ke kantor Komnas PA untuk direhabilitasi. Arist Merdeka Sirait mengatakan, proses rehabilitasi Ilham membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan. Ia akan menjalani terapi fisik dan psikologis.

Di Indonesia, jumlah perokok aktif mencapai 65 juta orang. Indonesia termasuk tiga besar jumlah perokok aktif.

Menurut Arist Merdeka Sirait, dalam soal kampanye bahaya merokok, ”Negara telah kalah oleh kepentingan kepentingan industri rokok.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com