Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemacetan Tetap Jadi Momok

Kompas.com - 24/04/2012, 05:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Kemacetan di Jakarta tetap menjadi momok karena tidak ada pembenahan secara terpadu dalam satu komando. Setiap institusi, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga swasta, bergerak dengan kepentingan masing-masing.

Kebijakan penanganan kemacetan ibarat orkestra tanpa konduktor. Pemusik memainkan alatnya sendiri-sendiri tanpa mengikuti partitur. Ekses kemacetan masih terus terasa, seperti biaya tinggi akibat pemborosan energi, waktu, dan polusi. Semua itu berpengaruh negatif terhadap perputaran perekonomian nasional dan menurunkan kualitas hidup masyarakat Jakarta dan sekitarnya.

Dinas Perhubungan DKI Jakarta tahun 2010 menaksir biaya kemacetan mencapai Rp 45,2 triliun per tahun. Biaya ini termasuk konsumsi bahan bakar minyak, operasional kendaraan, kerugian waktu, kerugian ekonomi, dan pencemaran udara.

Belum lagi kecelakaan lalu lintas yang masih tinggi. Selama Januari-Maret 2012, Kepolisian Daerah Metro Jaya mencatat 236 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas atau dalam sebulan hampir 80 nyawa melayang akibat kecelakaan.

Kendaraan pribadi

Kondisi ini tidak lepas dari tingginya penggunaan kendaraan pribadi. Dalam survei Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration tahun 2010, tercatat ada 48,7 persen pengguna sepeda motor dan 13,5 persen pemakai mobil. Artinya, 62,2 persen perjalanan di Jakarta menggunakan kendaraan pribadi.

Pengguna bus hanya 12,9 persen dari total responden. Pengguna angkutan lain, seperti taksi, bajaj, ojek, dan kereta rel listrik (KRL), 2,3 persen. Angka ini merosot dibandingkan tahun 2002. Saat itu, pengguna bus masih 38,3 persen dan angkutan lain 5,3 persen.

Di tempat terpisah, Ketua DPD Organda DKI Jakarta Soedirman mengatakan, tingkat keterisian (load factor) angkutan umum di Jakarta hanya 50 persen. Sudah 10 tahun terakhir kondisinya seperti ini.

Dia menilai, saat ini jumlah angkutan umum sudah jauh melebihi kebutuhan. Hal ini ikut membuat sopir mengemudikan kendaraan ugal-ugalan dan ngetem di sembarang tempat untuk mencari penumpang. ”Ada kelebihan jumlah angkutan umum sampai 25 persen dari kebutuhan. Ini terjadi karena perizinan mudah dikeluarkan tanpa melihat kebutuhan,” ujarnya.

Masalah struktural

Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Ellen Tangkudung, dalam diskusi seri keempat Pilkada DKI, ”Transportasi: Berpihak dan Mengurai Kemacetan”, di Kompas, Selasa (17/4), menilai, kemacetan di Jakarta merupakan kemacetan struktural.

”Ada banyak kebijakan yang tidak saling terkait. Misalnya, tidak ada keterkaitan antara pertumbuhan tata guna lahan dan penataan angkutan umum ataupun pribadi,” kata Ellen yang juga Kepala Laboratorium Transportasi UI.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu Gubernur Akademi Kepolisian Inspektur Jenderal Djoko Susilo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristono, dan Sekretaris Perusahaan PT KAI Commuter Jabodetabek Makmur Syaheran. Sebagai moderator adalah pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi.

Menurut Ellen, satu persoalan yang mudah terlihat di lapangan adalah minimnya integrasi antarmoda angkutan umum. Antara halte dan stasiun, misalnya, sering berjarak jauh. Hal ini turut membuat orang enggan menggunakan angkutan umum.

Pemerintah tidak menyediakan tempat yang cukup bagi pejalan kaki, pesepeda, dan penyandang disabilitas. Padahal, keberpihakan bagi pejalan kaki merupakan langkah awal untuk membuat orang meninggalkan kendaraan pribadi.

Koordinasi dan integrasi antara Pemerintah Provinsi Jakarta dan pemerintah daerah wilayah sekitarnya belum berjalan mulus. ”Perlu determinasi politik yang kuat, tegas, dan sepenuh hati menyelesaikan kemacetan. Integrasi dibutuhkan, baik horizontal maupun vertikal,” kata Ellen.

Ellen berpendapat, ada sejumlah langkah solusi jangka sangat pendek yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi kemacetan.

Langkah itu adalah menyediakan fasilitas trotoar untuk pejalan kaki dan pesepeda, penegakan hukum yang memberikan efek jera, pembangunan simpang tidak sebidang dengan jalur kereta api komuter, pelarangan parkir pinggir jalan, restrukturisasi trayek, dan manajemen angkutan umum. ”Mengurai kemacetan membutuhkan biaya besar,” ucapnya.

Keterpurukan lain yang mendera angkutan umum adalah persoalan tarif. Saat dihubungi, anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta, Iskandar Abubakar, menilai, seharusnya keputusan penetapan tarif angkutan umum berhenti sampai gubernur, tak perlu sampai DPRD. Kalau sampai DPRD, keputusannya bisa jadi politis.

Tarif angkutan umum yang berlaku saat ini masih di bawah harga pokok yang dihitung pengusaha. Selain itu, tidak ada subsidi yang diberikan untuk angkutan umum. Hal ini menyebabkan bisnis angkutan umum sulit berkembang dan pelayanan dikorbankan.

DKI sudah berbenah

Pemprov DKI Jakarta berpandangan, upaya memperbaiki angkutan umum sudah dilakukan. Udar Pristono menyatakan, ada penambahan tiga koridor transjakarta selama 1,5 tahun terakhir. Pada 2012, sebanyak 178 bus gandeng akan datang memperkuat transjakarta.

Dinas Perhubungan DKI Jakarta membuat proyek angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta (APTB) di rute Bekasi-Pulogadung. Bus ini sedianya menjadi pengumpan bagi penumpang dari Bekasi ke Jakarta dan sebaliknya. Namun, dua hari setelah diresmikan, APTB menuai protes keras dari pengusaha mikrobus yang biasa melayani trayek itu.

Polisi juga tidak bisa berbuat banyak. Djoko Susilo, Gubernur Akademi Kepolisian yang juga pengamat transportasi, mengatakan, polisi hanya bisa bergerak di hilir persoalan. Langkah yang bisa diambil antara lain memetakan titik rawan kemacetan dan melakukan rekayasa lalu lintas di daerah macet.

Djoko mengakui, pelanggaran lalu lintas di Jakarta amat banyak. Namun, di tengah kemacetan, polisi tidak bisa menindak pelanggar karena justru akan menimbulkan kemacetan akibat ditonton pengendara lain.

Menurut Makmur Syaheran, pihak kereta api juga berbenah. Sejumlah langkah telah dilakukan untuk mengoptimalkan pengangkutan penumpang. Penerapan sistem operasi tunggal, jalur lingkar, dan penambahan kereta merupakan beberapa langkah yang ditempuh selama tiga tahun terakhir agar penggunaan rel yang tersedia menjadi optimal. Patut dicatat, rel yang dipakai di Jabodetabek saat ini merupakan peninggalan Belanda.

Pelbagai kendala masih dihadapi kereta api, antara lain keterbatasan gardu listrik dan masih adanya dua kelas pelayanan KRL. Selain itu, pelintasan sebidang yang masih banyak juga belum bisa teratasi secara cepat. Padahal, jumlah perjalanan kereta kian bertambah dan angka kecelakaan di pelintasan kereta juga tinggi. (RTS/GAL/ART/FRO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com