Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puasa dan Kesalehan Publik

Kompas.com - 06/08/2012, 11:00 WIB

Oleh Masdar Hilmy

KOMPAS.com - Terdapatnya kesenjangan, diskrepansi, dan deviasi antara norma ajaran agama dan praksis moralitas publik lebih banyak disebabkan absennya narasi kesalehan ”lain” sebagai pilar atau pembentuk keadaban publik, yakni kesalehan publik-diagonal.

Selama ini terminologi agama hanya mengenal dua jenis kesalehan: kesalehan individual-vertikal dan kesalehan sosial-horizontal. Sebenarnya bisa saja orang berkilah bahwa jenis kesalehan publik-diagonal merupakan subordinat atau turunan dari bentuk kesalehan sosial-horizontal.

Pada kenyataannya tipologi kesalehan sosial-horizontal lebih banyak mengaksentuasi amal-amal filantropis sebagai wujud kepedulian kita atas nasib sesama, terutama mereka yang mengalami deprivasi sosial-ekonomi-politik akibat penerapan sistem yang timpang menindas.

Pada prinsipnya konsep kesalehan publik mengatur pola relasi antara warga masyarakat dan struktur negara. Disebut diagonal karena bersifat menyamping, meniscayakan hubungan timbal balik antara warga negara dan struktur negara itu sendiri. Pola relasi keduanya dimediasi oleh seperangkat peraturan perundangan yang tak secara literal diambil dari teks suci, tetapi diinspirasi nilai-nilai substantif agama.

Pilar penyangga

Tersua sekurangnya tiga pilar penyangga kesalehan publik yang keberadaannya sebagai satu kesatuan dan saling menopang satu sama lain. Pilar pertama adalah tertib dan keadaban publik. Pilar ini mengatur (1) bagaimana setiap individu bertiwikrama satu sama lain di ruang publik secara bertanggung jawab, santun, dan saling menghormati; (2) bagaimana individu belajar meruangkan perbedaan (toleransi) sebagai bagian dari sunatullah; (3) bagaimana individu mengajak pada kebaikan melalui cara-cara elegan tanpa kekerasan atau paksaan.

Pilar kedua, tata pemerintahan yang baik dan bersih, mengatur bagaimana struktur negara semestinya berperan sebagai agen instrumental yang mendistribusikan kesejahteraan secara adil dan merata kepada setiap warga negara, tanpa kecuali. Negara semestinya mengadopsi paradigma service delivery kepada setiap warga negara bukan menghamba pada kepentingan politik-kekuasaan yang menguntungkan segelintir orang.

Pada kenyataannya struktur negara banyak terjebak pada nalar politik kekuasaan yang korup. Alih-alih jadi agen service delivery, kantor kementerian kita sering jadi ATM atau sapi perah bagi politikus atau parpol yang menghamba pada kekuasaan. Akibatnya, pengembangan infrastruktur publik sering tersandera oleh pengemplangan anggaran oleh pejabat negara.

Sementara itu, penegakan dan ketaatan hukum menjadi pilar ketiga kesalehan publik. Penegakan hukum harus menganut asas imparsial dan impersonal (baca: tanpa pandang bulu). Siapa pun pelanggar hukum harus diadili, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW.

Kenyataannya, hal ini berkebalikan dengan yang terjadi sekarang: politik menjadi panglima dalam penegakan hukum. Akibatnya, penegakan hukum terasa tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Selain itu, hukum bisa diperjualbelikan sesuai dengan keinginan orang berduit.

Penerapan asas imparsialitas dan impersonalitas penegakan hukum pada gilirannya meningkatkan derajat kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara, sekaligus mendorong ketaatan warga atas segala produk hukum. Banyaknya pelanggaran hukum di kalangan masyarakat bukan semata-mata disebabkan minimnya kesadaran hukum, tetapi juga akibat krisis keteladanan dalam penegakan hukum.

Adalah kenyataan, moralitas para penegak hukum kita payah, lembaga negara dipenuhi sindikasi mafioso penjarah uang rakyat, dan parpol dijejali para demagog pemburu rente kekuasaan.

Pada intinya kesalehan publik tiada lain pelembagaan kesalehan secara sistemik ke dalam struktur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara simultan, konsisten, dan konsekuen. Keberadaannya melengkapi dua jenis kesalehan lain yang telah populer, membentuk sebuah rangkaian trilogi yang saling menyatu, terpaut, dan menopang satu sama lain.

Cikal bakal

Ketiadaan narasi kesalehan publik-dia- gonal bukan berarti agama tak berbicara sama sekali tentang jenis kesalehan ini. Pada tataran embrionik, banyak diktum dalam Al Quran dan hadis yang bisa di-derivasi sebagai cikal bakal kesalehan publik. Konsep keadilan, misalnya, merupakan pintu masuk pertama bagi terumuskannya formulasi kesalehan publik.

Dalam konteks ini Al Quran mengajarkan berlaku adil kepada siapa pun, termasuk kepada orang yang tak kita sukai atau lawan (QS 5:8). Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan penegakan hukum secara imparsial dan impersonal, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Dalam sebuah hadis disabdakan, Nabi bersumpah akan menghukum Fatimah, putrinya sendiri, jika dia terbukti mencuri.

Al Quran juga menyediakan banyak ayat yang bisa menginspirasi terciptanya kepercayaan dan akuntabilitas publik. Allah, misalnya, melarang orang berkhianat atau melanggar perjanjian (QS 8:27, 58, 59, 60). Untuk menghindari kesalahpahaman bertransaksi, Al Quran mengajarkan pentingnya pencatatan dalam setiap kegiatan transaksi demi tercipta akuntabilitas publik (QS 2:282).

Masih banyak ajaran agama yang mengaksentuasi moralitas atau kesalehan publik, antara lain kejujuran (QS 2:282; 8:58) dan kemahahadiran Tuhan dalam ruang publik (QS 50:16). Meskipun demikian, aktualisasi nilai-nilai itu dalam ruang publik sering terkendala oleh struktur pengawasan yang kurang melembaga dan penegakan hukum yang masih lemah.

Akibatnya, implementasi kejujuran sering berlangsung sporadik, individual, dan atomistik. Padahal, pelembagaan nilai-nilai kesalehan publik membutuhkan struktur kelembagaan yang bersifat koersif-afirmatif. Bukankah Ali, sahabat Nabi, pernah mengingatkan kita: ”Kebenaran tanpa struktur akan terkalahkan oleh kebatilan dengan struktur”.

Dalam konteks ini, ibadah puasa memi- liki semua syarat menciptakan kesalehan publik-diagonal. Sebagai ibadah individual-vertikal, puasa mengajarkan ketaatan dan kepasrahan hamba kepada Sang Khalik tanpa sikap cadangan. Sebagai ibadah sosial-horizontal, puasa mengajarkan empati kepada kaum tak berpunya melalui amal-amal filantropis. Sebagai manifestasi kesalehan publik-diagonal, puasa mendisiplinkan diri menaati segala peraturan Allah meski tak diawasi siapa pun. Namun, kesadaran akan kemahahadiran Allah mencegah kita lacur, curang, dan korup.

Masdar Hilmy Pengajar pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com