Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Musim Mudik, Puluhan Triliun Mengalir ke Daerah

Kompas.com - 15/08/2012, 09:45 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Dana puluhan triliun rupiah mengalir ke daerah, menghidupkan perekonomian di tempat tujuannya, seiring gelombang pemudik. Bank Indonesia memperkirakan nilai transaksi yang terjadi sepanjang masa mudik tersebut mencapai Rp 89,4 triliun, yang dibawa sekitar 22 juta pemudik.

Ke manakah uang itu mengalir? Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas berusaha menjawabnya melalui survei yang dilakukan pada akhir Juli lalu.

Hasilnya mengungkapkan, antara lain, 68 persen dari responden yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara, menghabiskan dana Rp 1 juta-Rp 3 juta untuk berbuka puasa dan sahur selama sebulan. Adapun di Jakarta dan Bandung, hanya 48 persen responden yang mengalokasikan anggaran yang sama.

Selain itu, di Medan dan Palembang, Sumatera Selatan, ada 14,3 persen responden yang mengalokasikan dana lebih dari Rp 10 juta untuk membiayai tradisi mudiknya. Sementara rata- rata 74,57 persen dari seluruh responden mengalokasikan anggaran di bawah Rp 5 juta untuk bekal mudiknya tahun 2012.

Temuan Litbang Kompas tersebut dapat dielaborasi melalui pernyataan beberapa pemudik yang dihubungi di Jakarta, Selasa (14/8).

Romi (35) yang akan mudik dari Jakarta ke Batusangkar, Sumatera Barat, menghabiskan Rp 5 juta untuk membeli oleh-oleh berupa makanan dan pakaian. Untuk bekal di perjalanan, dengan kendaraan pribadi selama tiga hari dua malam, ia membawa uang tunai Rp 1 juta untuk membeli makanan dan bahan bakar kendaraan.

”Rute perjalanan sangat berisiko jika membawa uang tunai terlalu banyak. Saya hanya membawa secukupnya untuk makan dan beli bensin. Namun, kalau kurang, ya, mengambil dari ATM (anjungan tunai mandiri),” katanya.

Dengan memperhitungkan pengeluaran selama mudik di Batusangkar hingga kembali lagi ke rumahnya di Johar Baru, Jakarta Pusat, Romi memperkirakan total pengeluarannya mencapai Rp 15 juta. Itu sudah termasuk uang sumbangan kepada kerabat, yang rata-rata Rp 100.000 per orang atau total Rp 2 juta. Romi juga mengalokasikan dana untuk berwisata.

Begitu juga dengan Prabowo (32), karyawan swasta di Jakarta, yang akan mudik ke Semarang, Jawa Tengah. Untuk membiayai mudiknya selama seminggu, dia mengalokasikan anggaran Rp 13 juta. Uang itu, antara lain, dipakai untuk dibagikan kepada keluarga dan tetangga serta jajan di kampung halaman. Selain itu, dia juga menyiapkan uang untuk zakat.

Jika rata-rata pemudik mengalokasikan dana Rp 14 juta per orang untuk pulang kampung, diperkirakan dana yang dianggarkan oleh semua pemudik asal Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mencapai Rp 147 triliun. Itu dengan asumsi jumlah pemudik dari Jabodetabek mencapai 10,55 juta orang.

Separuh ke kota

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono meyakini, transaksi para pemudik akan terbagi 50 persen di perkotaan dan 50 persen di pedesaan. Alasannya, sebelum mudik ke kampung halaman, pemudik biasa membelanjakan uangnya untuk barang konsumsi khas Lebaran, mulai dari pakaian hingga oleh-oleh makanan, di pusat perbelanjaan di perkotaan.

Belanja untuk pembelian mobil, sepeda motor, dan barang elektronik juga di kota. Baru setelah itu sisa uang akan dibelanjakan di desa untuk kebutuhan harian atau filantropi.

”Kota cukup banyak mendapat manfaat, tidak didominasi desa. Soal konsumtivisme, saya pikir sulit dihindari karena menyangkut tradisi, kultur. Sulit mengarahkan aliran dana Lebaran ke sektor yang berdimensi jangka panjang. Kebanyakan karyawan yang mendapatkan THR (tunjangan hari raya) cenderung melakukan ’tebang habis’,” ujarnya.

Secara terpisah, ekonom Fadhil Hasan berpendapat, uang Lebaran adalah pendapatan perseorangan yang penggunaannya tergantung dari kebutuhan individu. Agak sukar pengorganisasiannya kecuali jika pemerintah daerah bisa mengarahkan dana tersebut ke kelembagaan lokal di tingkat desa.

”Perlu gerakan yang tumbuh dari masyarakat sendiri untuk mengarahkan dana Lebaran ke sektor yang jangka panjang, seperti membangun sarana umum di desa,” paparnya.

Dihubungi terpisah, Guru Besar Sosial Industri Pertanian UGM M Maksum mengatakan, agar uang yang dibelanjakan pemudik tidak habis untuk belanja konsumtif, ada baiknya kepala desa atau rukun tetangga mendorong pemudik berinvestasi secara nyata. Misalnya, mengajak pemudik membangun desa, seperti jalan, tempat ibadah, atau sarana dan prasarana sosial lain.

”Biasanya orang desa yang ke kota dan pulang ke kampung halamannya cenderung senang kalau dilibatkan berpartisipasi dalam pembangunan pedesaan,” ungkapnya.

Diproses hukum

Terkait THR, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) Antonius Simbolon, kemarin, menegaskan perusahaan alih daya yang hingga kini belum memenuhi kewajiban memberikan THR bakal diberikan sanksi hingga pengajuan proses hukum.

”Jika sampai batas waktu yang ditentukan tak ada penyelesaian, maka akan ada sanksi yang bersifat teguran sampai dengan pengajuan ke proses peradilan hubungan industrial dan proses hukum,” katanya.

Bahkan, tambah Antonius, ia juga akan meminta perusahaan pemakai jasa untuk tidak lagi mempergunakan perusahaan alih daya yang bermasalah tersebut. ”Yang jelas sanksi akan diberikan melalui tahapan-tahapan,” lanjutnya.

Ia menyesalkan sikap manajemen perusahaan alih daya yang dinilai tidak tanggap sejak awal.

Dari Surabaya, Jawa Timur, dilaporkan sebanyak 19.443 tenaga alih daya hingga kemarin belum menerima THR. Dari laporan yang diterima Posko Pengaduan THR LBH Surabaya-FSPMI Jatim, hingga kini total ada 20.493 pekerja dari 39 perusahaan yang belum menerima THR. Dari 20.493 orang, sebanyak 19.443 orang di antaranya berstatus tenaga alih daya.

”Posko menerima 30 pesan pendek dari telepon seluler serta pengaduan secara langsung oleh 608 pekerja,” kata Wakil Ketua Posko Pengaduan THR LBH Surabaya-FSPMI Jatim Richard Pranata di Surabaya.

Laporan yang masuk lewat tenggat pembayaran THR, Senin (13/8/2012), pelanggaran THR terjadi di Sidoarjo (15 perusahaan), Surabaya (12 perusahaan), Mojokerto (5 perusahaan), Gresik (5 perusahaan), dan Pasuruan (2 perusahaan).

Mereka yang tidak menikmati THR di antaranya sopir perusahaan, yang sebelumnya berstatus karyawan tetap, tetapi dialihkan menjadi tenaga alih daya.

Kurang tenaga pengawas

Akibat terbatasnya tenaga pengawas, pembayaran THR kepada pekerja di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, tak terpantau. Sampai H-5 menjelang Lebaran, belum bisa dipastikan apakah tenaga kerja dari perusahaan industri skala menengah dan industri rumah tangga sudah mendapatkan THR atau belum. Alasannya, karena pihaknya hanya memiliki dua tenaga pengawas, yang lebih memfokuskan diri pada pengawasan pembayaran THR di 70 perusahaan besar, dengan jumlah karyawan ribuan orang.

Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Temanggung Suminar Budi, jumlah industri skala menengah di Kabupaten Temanggung terdata 295 unit, yang melibatkan 10-100 tenaga kerja per unit usaha. Sementara jumlah industri rumah tangga terdata mencapai 23.000 unit, dengan jumlah karyawan di setiap unit usahanya kurang dari 10 orang.

Kewajiban pembayaran THR sebenarnya berlaku juga untuk usaha kecil seperti industri rumah tangga. (APA/EKI/WER/EGI/ETA/MAS/OIN)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com