Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Transplantasi dan Kualitas Hidup Baru

Kompas.com - 06/03/2013, 03:06 WIB

Namun, yang paling populer adalah mitologi Kristen tentang Santo Cosmos dan Santo Damian. Mereka mengganti kaki pasien yang diamputasi dengan kaki mayat. Muncullah suatu konsep baru, tubuh orang yang mati bisa menolong tubuh orang yang hidup.

Transplantasi kemudian berkembang pesat pada abad ke-19. Sepanjang tahun 1818-1881 untuk pertama kalinya terjadi transfusi darah, transplantasi tulang, percobaan transplantasi sumsum tulang belakang, dan laporan tentang cangkok kulit. Dalam periode yang sama, Mary Shelley menulis Frankenstein (1818), buku klasik tentang upaya menciptakan kehidupan lewat jahitan potongan-potongan mayat yang kemudian dialiri listrik.

Penemuan golongan darah, perkembangan teknik penyambungan pembuluh darah, hingga transplantasi kornea, ginjal, dan lutut pertama pada abad ke-20 mempercepat kemajuan teknik transplantasi. Kini, dengan berkembangnya pengetahuan tentang sel punca (stem cells), para ahli bisa menumbuhkan organ baru dengan menggunakan sel punca si pasien.

Sel punca adalah sel pada tahap yang amat dini dan belum terspesialisasi. Sel ini mampu berdiferensiasi melalui pembelahan sel menjadi berbagai jenis sel matang yang menumbuhkan semua organ tubuh manusia, seperti jantung, hati, kulit, saraf, dan juga pankreas. Para pekerja di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi, Jepang, juga diminta menyimpan darah mereka untuk mengantisipasi ancaman radiasi dari reaktor yang bocor pascagempa 2011. Cadangan darah itu menjadi bahan baku transplantasi sel punca bila mereka terpapar radiasi.

Organ atau jaringan tubuh yang ditransplantasikan dari satu tubuh pasien disebut autograft. Sementara transplantasi dari dua spesies yang sama disebut allograft. Organ dari donor—baik donor hidup maupun meninggal—bisa disimpan hingga lima tahun sampai ada penerima yang cocok.

Komputer membantu

Perkembangan ilmu komputer mempercepat teknologi transplantasi saraf (neuroscience). Suatu perangkat elektronik yang ditanam di otak, misalnya, bisa membantu penderita kelumpuhan anggota badan menggerakkan perangkat internal dan eksternal seperti protese, komputer, dan kursi roda sehingga bisa kembali beraktivitas.

Gabungan ilmu komputer, protese masa depan, dan tentu saja kerja keras adalah kunci sukses Oscar Pistorius menjadi salah satu manusia tercepat di dunia. Ia adalah juara dunia sprinter dari Afrika Selatan yang telah 30 kali memperbaiki rekornya.

Kemajuan teknologi telah mengganti kakinya dengan protese dari komposit fiber karbon. Protese ini membuat gerakannya menjadi efektif dan efisien. Menurut

Time, desain kaki yang berbentuk pisau melengkung mengembalikan energi lebih banyak ke kaki bagian atas dibandingkan pergelangan kaki sehingga ia bisa berlari lebih cepat.

Ilmuwan juga tengah mengembangkan C-leg (kaki C) dan Utah-arm (tangan Utah). Dengan bantuan mikroprosesor, kaki bionik ini mampu mengalibrasi lengkungan lutut untuk mengatur kecepatan jalan dan menjadi sensor tangan yang peka untuk memudahkan berbagai gerakan halus ataupun kasar.

Beruntunglah Marrocco dan Pistorius meski jalan hidup mereka jauh berbeda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com