Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/10/2013, 11:24 WIB
Unoviana Kartika,
Asep Candra

Tim Redaksi


KOMPAS.com -
Kekerasan hampir tidak pernah habis diberitakan. Belakangan kasus kekerasan yang cukup menghebohkan adalah penembakan polisi, penyekapan, hingga penyiraman air keras.

Terlepas dari motif pelakunya, kekerasan identik dengan gangguan jiwa. Logikanya, jika memiliki jiwa yang sehat, tentu orang tidak akan sampai hati melakukan kekerasan terhadap sesamanya.

Kendati demikian, menurut Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI dr Eka Viora, Sp.KJ, kasus kekerasan belum tentu selalu dipicu oleh gangguan jiwa. Sebaliknya, kekerasan bahkan bisa hanya dipicu oleh ketidakpuasan terhadap situasi yang terjadi.

"Kekerasan erat kaitannya dengan fenomena ketidakpuasan terhadap situasi. Jika situasi yang terjadi tidak sesuai dengan harapannya, seseorang bisa frustrasi dan cenderung tidak bisa mengendalikan emosi," jelasnya di sela-sela diskusi kesehatan jiwa, Selasa (8/10/2013) di Jakarta.

Kemampuan mengendalikan emosi, ujar dia, dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut dia, faktor yang paling berperan adalah kepribadian.

Eka mengatakan, jika kepribadian seseorang cenderung reaktif, umumnya mereka akan lebih sulit mengendalikan diri. Akibatnya, orang-orang dengan kepribadian seperti ini seringkali "tidak sadar" melakukan sesuatu yang akhirnya membahayakan orang lain.

Selain itu, ada pula faktor provokasi lingkungan dan pengaruh alkohol dan obat-obatan. "Meskipun kepribadiannya baik namun jika terpengaruh faktor-faktor tersebut, bisa saja dia juga lepas kendali," katanya.

Namun bukan berarti kepribadian reaktif merupakan jaminan seseorang menjadi pelaku kekerasan. Eka menekankan, pengendalian diri bisa dilatih agar pengelolaannya semakin baik.

"Pelatihan perlu dilakukan sedini mungkin, seperti pada usia remaja. Karena pada masa ini umumnya emosi sedang tidak stabil," ucap Eka.

Pelatihan, imbuhnya, meliputi pengelolaan stres dan mengambil keputusan. Intinya, mekanisme defensif positif perlu dilakukan untuk mencegah penjerumusan terhadap hal-hal negatif seperti narkoba, stres berlebihan hingga depresi, serta melakukan kekerasan.

Kementerian Kesehatan sendiri, khususnya Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, sudah mengupayakan program-program pelatihan terutama untuk kelompok berisiko. Tujuannya salah satunya yaitu untuk mengurangi aksi kekerasan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com