Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/12/2013, 12:43 WIB
Unoviana Kartika

Penulis

KOMPAS.com — Kegiatan menggemari artis idola semestinya menjadi salah satu bentuk media sosialisasi, selain sarana untuk mengembangkan diri, juga berdampak positif bahkan bisa menjadi salah satu peluang menghasilkan uang. Inilah segelintir kisah dari fans grup idola yang belakangan menjadi fenomena di kalangan pemuda.

Dentuman suara musik yang terdengar sayup-sayup dari panggung di lantai tujuh gedung itu menjadi backsound perbincangan dengan tiga orang pemuda malam itu. Sorot lampu yang sedikit redup mewarnai meja tempat kami duduk. Suasana di lantai tempat kami berada saat itu memang tidak terlalu ramai, tetapi di lantai lainnya, khususnya lantai empat, puluhan hingga ratusan orang terlihat memenuhi sebuah pojok yang bertuliskan "Jakarta JKT 48 Theater".

Ketiga pemuda itu menyebut dirinya sebagai Genderuwota dan anak magangnya. Mereka lebih dikenal di jejaring media sosial Twitter dengan akun @Genderuwota dan blog Genderuwota48 yang aktif membagikan informasi dan pengalaman khususnya yang berhubungan dengan kelompok idola (Idol Group) JKT48, dan hal umum lainnya.

Akun tersebut cukup "terdengar" di antara penggemar kelompok itu. Terbukti dari jumlah pengikutnya yang mencapai sekitar 27.000, dan setiap hari puluhan kicauan dihasilkan sebagai interaksi dengan pengikut yang tidak sedikit.

Nama Genderuwota awalnya tercipta tidak disengaja, yaitu berasal dari kata genderuwo, sejenis jin atau makhluk halus manusia mirip kera dan "wota" yang berarti penggemar setia dalam bahasa Jepang. Dinamakan demikian karena sosok Genderuwota bagaikan makhluk halus yang tidak ingin diketahui identitas dan keberadaannya kecuali lewat akun Twitter-nya.

Uwo, begitu Genderuwota biasa disapa, pun mulai menerangkan bagaimana awalnya menggemari JKT48. Pada awal tahun 2012, Uwo termasuk dalam segelintir orang yang menyaksikan penampilan perdana JKT48 di teater sementara yang saat itu digelar di Gedung Nyi Ageng Serang, Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. Dikatakan segelintir karena saat itu jumlah penonton yang datang sangat sedikit dibandingkan dengan saat ini.

"Bahkan dulu tiket teater dikasih-kasih gratis, sekarang berebut dapetin tiket," ujar pemuda berusia 25 tahun ini.

Teater merupakan pertunjukan musik yang dilakukan JKT48, dari mulai bernyanyi sambil menari, serta beramah-tamah dengan penggemar. Menurut keterangan Uwo, di masa awal JKT48 tampil di teater, seusai pertunjukan, para personelnya (member) masih menyempatkan diri melakukan jabat tangan dengan penggemar. Hanya, karena penggemar bertambah banyak, pihak manajemen tidak melanjutkan aksi yang punya istilah "fans service" itu.

Cinta pada pandangan pertama. Itulah istilahnya saat Uwo pertama melihat penampilan JKT48 di teater malam itu. Sejak itu, dia mencari tahu banyak tentang JKT48 lewat internet.

Tak heran, saat itu Uwo pun jadi tahu adanya AKB48, "kakak" JKT48 yang berasal dari Negeri Sakura. Lagu-lagu JKT48 sendiri pun juga sebenarnya merupakan milik AKB48 yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Selayaknya orang yang sedang jatuh cinta, Uwo pun mengusahakan untuk kembali bertemu dengan orang yang dicintainya, dengan cara menonton penampilan teater JKT48 selanjutnya. Pertunjukan teater kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya pun disambangi olehnya.

Dari sana, Uwo pun bertemu dengan kawan-kawan yang bernasib sama dengannya, jatuh cinta pada gadis-gadis personel JKT48. Personel yang paling disukai mereka sebut dengan "oshi". Lantaran frekuensi bertemu yang cukup sering dan kesukaan yang sama, mereka pun cocok satu sama lain.

Uwo akhirnya membuat sebuah komunitas yang bersumbu dari kecintaannya kepada JKT48. Itulah kenapa ada istilah "anak magang", karena anggota komunitas itu disebut demikian. Meski ada pula yang menyebut diri mereka sebagai anak freelance dan sebagainya. "Panggilan sih suka-suka saja, yang penting maksudnya sama," timpal salah satu anak magang.

Jenuh
Berulang kali nonton teater, Uwo bukannya tidak mengalami kejenuhan. Kesibukannya sebagai pekerja pun tidak dapat dihindari sehingga tidak mungkin di setiap pertunjukan teater dia selalu datang. Terlebih, semakin JKT48 dikenal, semakin intens pertunjukan teater digelar, bahkan bisa setiap hari.

Selain itu, tiket masuk teater juga tidak murah. Penonton perlu merogoh kocek hingga ratusan ribu rupiah. Belum lagi, pernak-pernik JKT48 yang dijual di depan area teater tentu "menggoda" untuk dibeli.

"Kalau sudah jenuh, ya sudah off (datang ke) teater sementara waktu. Tapi jangan kira, off juga untuk mengikuti perkembangan mereka. Anak magang baru biasanya cerita detail teater saat berlangsungnya pertunjukan. Kalau ada yang unik-unik, seperti member jatuh saat bernyanyi, atau member ngomong itu bikin semangat dan menumbuhkan cinta sama member lagi," tutur Uwo.

Uwo pun menilai, kecintaan dia dan pengemar lainnya kepada JKT48 sudah sampai tahap menganggap member sebagai adik, kakak, bahkan pacar sendiri. Itulah yang membuat mereka merasa bersalah atau tidak nyaman saat tidak dapat menghadiri teater. "Terutama bagi yang awal-awal datang ke teater seperti kami, kedekatan dengan member lebih terasa karena fans service-nya lebih banyak, seperti boleh handshake dan foto bersama," ujarnya.

Ya, "idola yang dapat Anda jumpai setiap hari" memang merupakan konsep yang diusung oleh AKB48 dan semua "sister group"-nya (termasuk JKT48). Itulah yang membuat mereka selalu membuat pertunjukan teater hampir setiap hari, tujuannya agar penggemar dengan mudah dapat menemukan idolanya.

Lebih produktif
Uwo menyadari, kegiatan menggemari membutuhkan uang. Namun, di saat kebanyakan penggemar hanya menghabiskan uang dengan menonton teater dan membeli pernak-pernik, sebaliknya Uwo ingin bisa menghasilkan.

Awalnya Uwo menggelar acara buka bersama dengan kaum duafa. Biaya yang tadinya direncanakan berasal dari kocek masing-masing justru akhirnya berhasil diubah dengan cara lelang koleksi. Acara perdana itu pun menuai sukses karena hasil lelang ternyata jauh lebih banyak dari yang diduga sebelumnya.

Semenjak sukses mengadakan acara itu, komunitas itu pun kerap dan rutin menggelar acara yang serupa. Misalnya saat Idul Adha lalu, Uwo mengajak anggota serta pengikut Twitter-nya untuk berpartisipasi sehingga mereka pun berhasil berkurban ternak.

Belakangan, Uwo juga memproduksi sebuah buku berjudul Dunia Delusi. Buku tersebut berisi kisah-kisah penggemar inspiratif dan unik dari anggota komunitas. Dengan royalti yang didapat dari buku itu, Uwo bercita-cita dapat membangun rumah singgah di Jakarta untuk penggemar-penggemar dari daerah yang perlu penginapan saat menonton teater JKT48.

Menurut psikolog anak dan keluarga, Roslina Verauli, kegiatan menggemari artis idola memang merupakan salah satu sarana membentuk media sosialisasi. Dengan kecintaan yang sama, sosialisasi akan berjalan lebih "nyambung".

Vera menilai, kegiatan menggemari, kalau bisa memberikan dampak positif pada pengembangan diri artinya bersifat konstruktif. Bukan hanya mendapatkan tokoh panutan dan teman, melainkan juga bisa mendatangkan uang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com