Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Doctors Go Wild, Melihat Pengobatan Dukun Suku Bajo

Kompas.com - 01/04/2014, 13:57 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

Di Sampela, kami mendapat sambutan hangat dari pemilik rumah, yang kemudian memberitahukan bahwa anak laki-lakinya, yang berusia 8 tahun, sedang demam tinggi selama beberapa hari terakhir dan sebentar lagi akan ada dukun setempat yang datang untuk melakukan penyembuhan sesuai tradisi suku Bajo.

Kami sangat antusias mendengar hal ini. Akhirnya kami berkesempatan melihat langsung praktek sang dukun Bajo. Ternyata yang dilakukan sang dukun sebatas menyiapkan sesajen yang kemudian diikuti dengan menghanyutkan sesajen tersebut ke laut.

Tidak ingin menyinggung tuan rumah akan keyakinannya, rasa penasaran akan efektifitas metode penyembuhan sang dukun dan berbekal keilmuan bahwa demam tersebut tidak akan membahayakan sang anak, kami memilih untuk tidak melakukan intervensi medis seperti memberi obat kepada sang anak malam itu. Tapi, kami tetap mengawasinya sepanjang malam dan memotivasi untuk minum sebanyak-banyaknya untuk mengganti cairan yang hilang saat demam.

Keesokan harinya, sang anak terlihat lebih segar. Mungkin karena pasokan cairan yang kami pantau semalaman. Tapi, keluarga memutuskan untuk menambah pengobatan dengan menaikkan tingkatan sesajen dan ritual.

Ternyata dalam tradisi pengobatan tradisional Suku Bajo terdapat tingkatan pengobatan. Biasanya, pengobatan dimulai dari yang paling sederhana. Bila belum sembuh, akan ditingkatkan dan akan terus ditingkatkan sampai kelas yang paling tinggi, yaitu Duata, pemberian sesajen secara besar-besaran yang membutuhkan dana tidak sedikit.

Kami sebetulnya mulai agak resah membiarkan sang anak demam tanpa intervensi. Tapi karena kami yakin demamnya tidak berbahaya, kami tetap membiarkan mereka melakukan apa yang mereka yakini.
    
Ketenangan orang tua dalam menghadapi anaknya yang sakit merupakan hal unik bagi saya. Kebanyakan orang tua dari pasien-pasien kecil saya di kota panik, bahkan cenderung histeris, saat anak mereka sakit. Mereka kemudian mengharapkan anak mereka segera sembuh secepatnya. Sebuah reaksi yang biasanya terlihat wajar bagi saya. Namun keluarga sang anak yang sakit ini memancarkan kesabaran dan ketenangan dalam kecemasan mereka, menyerahkan semua proses penyembuhan  kepada alam sambil terus mengupayakan hal-hal yang mereka yakini dapat memulihkan kondisi sang anak.

Penyelam Bajo

Hari berikutnya kami bertemu dengan seseorang yang luar biasa. Pak Lauda, orang Bajo yang mampu menyelam sampai kedalaman 30 meter selama lebih dari 3 menit tanpa batuan alat selam. Segera saya mengajak beliau pergi ke Pulau Hoga, sebuah tempat menyelam yang terkenal keindahannya. Saya ingin melihat langsung keindahan bawah lautnya, sekaligus melihat Pak Lauda beraksi.
    
Saat di dalam laut, saya sempat memeriksa denyut nadi Pak Lauda. Ini saya lakukan untuk mengonfirmasi refleks menyelam mamalia, sebuah refleks yang dimiliki mamalia saat menyelam, dimana jantung menurunkan denyutnya sebagai salah satu kompensasi dan adaptasi terhadap lingkungan sekitar.
     
Saatnya tiba untuk meninggalkan Sampela. Sebelum bertolak, kami menyempatkan diri memeriksa keadaan sang anak yang kemarin sakit. Ternyata sang anak terlihat jauh lebih segar dan sehat serta tidak demam lagi. Apakah sesajen sang dukun berhasil, atau demamnya mereda sendiri sesuai dengan perjalanan penyakit, atau karena kami motivasi untuk rehidrasi? Apapun itu, kami meninggalan Sampela dengan banyak pengalaman dan pemahaman baru yang memperkaya kami.

Kaderisasi kesehatan di Tomia

Kami melanjutkan perjalanan kami ke Pulau Tomia untuk bertemu seorang sejawat yang mengabdikan diri selama empat tahun terakhir di Tomia. Dokter Yudi adalah seorang dokter yang telah 4 tahun mengawal masyarakat Tomia menjaga kesehatan. Selain memberi jasa pelayan kesehatan, sebagai seorang dive master, dr. Yudi memanfaatkan waktu luangnya menemani para wisatawan yang ingin menyelam di Tomia yang memang terkenal memiliki banyak tempat-tempat menyelam yang cantik.

Dr. Yudi pun menemani kami mendatangi Lamanggau, salah satu pemukiman suku Bajo lainnya di Wakatobi. Jumlah suku Bajo di Lamanggau tidak terlalu banyak. Namun, usaha kesehatan di sini justru lebih maju dibanding dua tempat yang kami datangi sebelumnya. Kaderisasi masyarakat dilakukan sebagai perpanjangan tangan pusat kesehatan, sehingga masyarakat memiliki kesadaran yang cukup baik akan kesehatan serta tidak ragu menggunakan fasilitas kesehatan bila membutuhkan.
    
Dari bincang-bincang kami dengan dr. Yudi, kami sama-sama melihat satu masalah yang jelas dari tempat-tempat yang kami datangi, yaitu kurangnya air bersih dan masalah sanitasi. Kurangnya fasilitas MCK yang layak dan sulitnya pengadaan air bersih menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam mewujudkan masyarakat yang sehat di Wakatobi.

Akhirnya kami kembali mengarungi lautan selama 6 jam untuk kembali ke Wangi-wangi dengan perahu kayu bermotor yang memaksa tubuh kami sekali lagi mengakui lemahnya sistem keseimbangan kami. Di antara perjuangan mempertahankan keseimbangan dan usaha untuk tidak mengeluarkan isi perut saya akibat mabuk laut, saya sekali lagi tertegun mengingat suku Bajo yang hidup di laut dan para nelayannya yang sanggup melaut berhari-hari.

Sungguh suatu bukti nyata betapa tubuh manusia mampu beradaptasi dengan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidupnya.

(dr. Ratih Citra Sari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com